Aku tak bisa lagi tertawa
karya : G. Sukaton
Aku tak bisa lagi tertawa
saat badut-badut berdasi bergaya dilayar kaca
Karena anggaran pendapatan belanja Negara yang buntu dijawab oleh
agen-agen penyalur pembantu , penghinaan atas harga diri bangsaku dijawab dengan penandatanganan MOU. Sekian juta mulut anak-anak bangsa ternganga saat kamu dengan wajah riang pergi pelesir ke luar negeri, sorang anak balita makan nasi aking mati, karena surat keterangan miskin tidak dimiliki.
Rapat kerja dewan terhormat yang dipaksakan untuk mengejar setoran hanya menjadi debat kusir, menambah gaduh ruang media public
membuat sibuk kuli tinta yang senang berfantasi, berakhir pada
penggelontoran dana untuk para pemilik modal bermuara pada kas partai. Ini biaya yang harus dibayar dengan keringat buruh kontrak, pegawai swalayan, dan penduduk migran. Bagaimana kebijakan
bisa dijalankan bila kedua belah kakimu terjerat aturan yang kamu ciptakan.
Peraturan adalah mahkota kebersamaan bukan bahasa birokrasi yang tak memiliki nurani, kering dan miskin kontemplasi. Kamu main-main dengan amanat rakyat yang kau beli dengan potilik pencitraan memikat.
maka akupun urung menyeduh secangkir kopi tubruk kesukaan ku
aku tak bisa lagi tertawa
saat badut-badut berdasi bergaya dilayar kaca
karena rasa keadilan semakin pahit untuk dirasakan, karena tikus-tikus makin rakus menguras kas badan anggaran sementara sang kucing sudah tidak memiliki selera makan yang baik karena kelebihan berat badan, transaksi dagang sapi digelar atas nama konstitusi dan itu kamu namakan majlis pengadilan,
tentu setiap barang bukti yang ditemukan punya harga, setiap pasal yang
memberatkan punya harga, setiap saksi yang dihadirkan punya harga. Aku muntah diatas piring sarapanku menonton opera sabun yang kau pentaskan tidak kunjung usai, bertele-tele menguras tenaga dan pikiranku. Karena pada setiap kasus yang kau pilih dengan licik, beraroma tidak sedap menjadi alat tawar dibursa pilpres. karena untuk membeli kursi kekuasaan ada aturan permainan, untuk mencetak
kantong suara kamu butuh biaya, maka tawar menawar menjadi lumrah dan diniscayakan.
kamu berani berapa ?
aku tak bisa lagi tertawa
saat badut-badut berdasi bergaya dilayarkaca
karena outsourcing dipaksakan menjadi peraturan mengandung racun mematikan, menjadi belati diam-diam menikam dari belakang, memangkas hak atas kesejahteraan karyawan, melemahkan perlawanan serikat pekerja. Untuk menekan biaya perusahaan pos account social
welfare dikalahkan, maka buruh kontrak lahir premature dari rahim kantong industry teronggok diantara mesin produksi. Dengan tunjangan kesehatan yang terus ditekan hidup berjalan mengikuti putaran pergantian shift dan lembur dadakan.
Wajahnya yang mengenaskan adalah mimpi buruk peradaban membayangkan penindasan menetes dari meja persekongkolan penguasa. Untuk mempertahankan hidup mereka terpaksa berhutang. Menjadi santapan yang diperebutkan rentenir
dan lembaga perkreditan.
maka akupun urung menyeduh secangkir kopi tubruk kesukaan ku
aku tak bisa lagi tertawa
saat badut-badut berdasi bergaya dilayar kaca
karena Pelajar dan Mahasiswa dikarduskan untuk memenuhi selera pasar maka dengan liar mereka saling berhadapan di halaman kampus dan ruang belajar. Bangku pendidikan jadi tempat duduk para pesakitan
yang dituduh dan disalahkan. Perpustakaan hanya bilik sunyi tempat rak-rak dingin sembunyikjan buku penuh debu karena ditinggalkan pembacanya, maka proses berfikir jadi ruang hampa dan sunyi karena kecerdasan ditimbang dengan neraca untung rugi dan kemampuan menjawab persoalan ditentukan dengan angka. Darah mereka menggenang dijalan raya dan shelter pemberhentian busway menggetarkan ruang udara jantung ibukota kemudian tanpa bisa dibendung meleleh ke pojok-pojok daerah di Indonesia Raya dalam tajuk diskusi, head line media harian, dan ruang seminar pendidikan Para pemerhati, mereka meracau tentang karakter bangsa,
metode belajar yang diserap dari akar sejarah asing. Lalu kamu menampungnya dalam data statistic untuk dibaca dan di diskusikan. Darah para pelajar menggenang di pikiran dan ingatanku.
Kamu bicara apa ?
Aku tak bisa lagi tertawa
Saat badut-badut berdasi bergaya dilayar kaca
Karena kelaparan yang mematikan kau jawab dengan festival kuliner dan
peragaan busana, pembuhuhan masal sengketa tanah kau sembunyikan dan kemiskinan yang menghisap anak-anak diperbatasan tak menghentikan pengalihan fungsi lahan, ratusan ribu hektar rimba menguap jadi bancakan raja kecil bermahkota otonomidaerah karena penebangan liar dilindungi dan penggudulan hutan oleh mata gergaji
tak mau berhenti. Tanah rekah menadah buncahan hujan pada tumpukan sampah dilemparkan salah. Mana bisa mencetak sawah tanpa ketersediaan irigasi yang memadai sementara pasokan pupuk dibatasi di bandrol harga fantastic. Tanpa segan kamu makan batu batu bara, kau tenggak mineral dan minyak, kau telan emas, timah dan tembaga tanpa malu-malu kau minum uranium. Yang tersisa hanya tanah yang rekah, untuk kemakmuran Negara entah kamu anugerahkan semua jerih
payah pada tekanan kepentingan asing kamu menyerah. Tambang tua tidak lagi berproduksi mengurung rumah kumuh buruh pribumi dalam igau mimpi dengan gaji tidak mencukupi.
Aku tak bisa lagi tertawa
Saat badut-badut berdasi bergaya dilayar kaca
Karena kebodohan di namakan kearifan lokal kau jajakan pada
wisatawan mancanegara dalam paket peristiwa budaya. Tradisi yang tidak memiliki akar agama akan mencerabut ruh dari materi adalah pintu lebar menuju hancurnya peradaban manusia. Tahyul dan mitos berceceran dalam kurikulum pendidikan nasional diruang kerja kantor dinas meretas masuki ruang mimpi anak-anak kita menyelinap jauh kedalam buku pelajaran sekolah dasar dan menengah terus
membanjiri lembar-lembar silabus perguruan tinggi menjauhkan mata akal kaum intelektual dari persoalan yang menelikung anak negeri. Ini adalah gerbang menganga pada penjajahan ideology. Dengan ilusi paham demokrasi kita mentahkan ayat suci jadi curiga pada Tuhan pencipta alam raya, hidup dan manusia dibumi.
Kemuliaan manusia terletak pada mahkota akalnya maka proses berpikir menjadi sebuah keniscayaan untuk menemukan hakikat kebangkitan manusia.
Dimanakah kesadaran bersembunyi?