Islamic Painting Club

Islamic Painting Club
Karya : GUNUNG SUKATON, Pengelola SEKAR IMAGE

Kamis, 14 Februari 2019

KAJIAN ISLAM

Ayat “Innallaha laa yughayyiru maa bi qaumin…”


Salah satu penggalan ayat yang paling aneh dan janggal buat saya, adalah Qur’an Ar-Ra’d : 11, yang kerap diterjemahkan,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Q. S. [13] : 11.
Di ayat itu sangat janggal: usaha sendiri lebih dominan daripada kehendak Dia yang Mahakuasa. Di mana peran Allah-nya, kalau begitu? Kita hanya mengubah diri sendiri saja, cukup. Pasti berhasil. Allah sih ngikutin aja.
Di sisi lain, ada hadits riwayat Muslim:
“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorang pun yang sanggup menolaknya”. (H. R. Muslim).
Di hadits ini, jelas ‘dominasi’ Dia, Keperkasaan Dia, Dia yang tak bisa diganggu gugat. Kok, bisa tidak klop?
Sampai suatu hari, saya dan teman-teman diajari membongkar ayat tersebut oleh guru saya. Ayat aslinya adalah, “Innallaha la yughayyiru ma bi qoumin, hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.
ar ra'd
Terjemahan real-nya, bukan interpretatif, adalah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah ‘apa-apa/keadaan yang ada pada suatu kaum’ (ma bi qoumin), hingga mereka mengubah apa-apa/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka (ma bi anfusihim)”
Itulah masalahnya. Terjemahannya. ‘Apa-apa yang ada/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka’, diterjemahkan jadi ‘keadaan diri mereka sendiri’. Itulah sebabnya banyak yang memahaminya sebagai ‘kalau saya mengubah diri, maka saya bisa!’. Padahal, maksud sebenarnya adalah ‘Kalau saya mengubah jiwa saya, maka Allah pun akan memperbaiki keadaan/kondisi saya’.
Nafs, adalah ‘jiwa’. Jamaknya, anfus. Jiwa-jiwa. Apa itu ‘apa-apa yang ada pada jiwa’, atau ‘keadaan jiwa’ yang harus diubah, sehingga Allah berkenan mengangkat kita?
Apa-apa yang ada pada/bersama jiwa (bi anfus), adalah hawa nafsu. Keadaan jiwa, adalah jiwa yang masih dalam tingkat keadaan ‘jiwa yang mengajak pada keburukan’ (nafs ammarah bis su’) atau ‘jiwa yang terombang ambing antara perbuatan dan penyesalan’ (nafs lawwamah), diangkat naik menjadi jiwa yang tinggi, jiwa yang tenang (nafs mutma’innah).
Nah. Sejak itu, ayat itu jadi makes sense. Klop! Kalau kita memperbaiki kondisi jiwa kita dan hawa nafsu kita, tentu saja Allah akan memperbaiki kita sebagai insan. Pendeknya, “kalau kita mau berubah, kita cukup berurusan dengan hawa nafsu kita, dan Allah akan memperbaiki seluruh semesta insan kita yang lainnya, LAHIR dan BATHIN“. Just change your hawwa-nafs, and He would take care of all others.
Alhamdulillah! Dengan ini, malah semakin terlihat betapa Maha Pemurahnya Allah pada hamba-hamba yang bertaubat, kan?
Terjemahan bahasa Inggris-nya malah agak lebih pas: “Indeed, Allah will not change the condition of a people until they change what is in themselves.” Nah. Change ‘what is in themselves.
Jadi, sekali lagi, arti ayat itu BUKAN ‘Kita usaha, maka kita pasti sukses’. Makna yang ‘meleset’ ini biasanya cenderung dieksploitasi secara tidak pada tempatnya, seperti untuk keuntungan-keuntungan jangka pendek. Maksud ayat itu ADALAH ‘Ubahlah kondisi jiwa kita (agar tidak lagi terbelenggu hawa nafsu), maka Allah akan mengubah keadaan kita’.
(Catatan ini diambil dari wall Herry Mardian. Saya tambahi sepenggal puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi biar makin klop:
“Kemarin aku begitu cerdas, maka aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, maka aku mengubah diriku sendiri.”
Sedangkan tambahan dari Ali bin Abi Thalib adalah:
Barangsiapa membereskan hubungan antara dirinya dengan Allah, niscaya Allah akan membereskan hubungan antara dia dan manusia semuanya. Barangsiapa membereskan urusana akhiratnya, niscaya Allah akan membereskan baginya urusan dunianya. Barangsiapa selalu menjadi penasihat yang baik bagi dirinya sendiri, niscaya Allah akan menjaganya dari segala bencana).
Semoga bermanfaat bagi penulis dan kita semua. Amiin.