Islamic Painting Club

Islamic Painting Club
Karya : GUNUNG SUKATON, Pengelola SEKAR IMAGE

Minggu, 16 April 2017

Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah (Kemajuan dan Keberhasilannya)

KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA


Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memiliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.

Kemajuan dalam bidang sosial budaya diantaranya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya.

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul Dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.

Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna dan lain sebagainya. Sementara tokoh terkenal dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang-bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa-masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, telah banyak diusahakan oleh para khalifah untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.

KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITER


Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok antara pemerintahan Dinasti Umayyah dengan Dinasti Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintahan Dinasti Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaan. Sementara pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut Diwanul Jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaitan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN


Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu pengetahaun, seperti Filsafat, filusuf yang terkenal saat itu antara lain adalahAl Kindi (185-260 H/ 801-873 M). Abu Nasr al-faraby, (258-339 H / 870-950 M) dan lain-lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Diantara sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq (152 H / 768 M).

KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAM


Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad (750-1258 M), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak lepas dari peran serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansial, kepada para ulama. Perhatian yang serius dari pemerintah ini membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Diantara ilmu pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf.

Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Abbasiyah merupakan suatu revolusi.

Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :

  1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.

  1. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.

  1. Terjadinya penyebrangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.

  1. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada.

Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ahpendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangandengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yangpenduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.

SISTEM PEMERINTAHAN, POLITIK DAN BENTUK NEGARA


Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya“. Pada zaman Dinasti Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain:

  1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.

  1. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.

  1. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.

  1. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.

  1. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; Daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang Wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut denganWizaraatSedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama Diwanul Kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang Raisul Kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul Idary Al-Markazy. Selain itu, dalam zaman Daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi empat periode :

  1. Periode pertama (750–847 M)


Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyahyang berorientasi ke Arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya - dan berlanjut ke generasi sesudahnya - merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). 
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.

Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.

Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.

2. Periode kedua (847-945 M)


Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.

Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.

Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:

  1. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.

  1. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.

  1. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

3. Periode ketiga (945 -1055 M)


Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.

4. Periode keempat (1055-1199 M)


Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. 
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah Al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL


Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:


  1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
  2. Gerakan Terjemah. Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain;Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusydi.
    1. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan, Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra,Ar-Razi.
    2. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
    3. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.

Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :

  1. Ilmu Umum


  • Ilmu Filsafat


Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.









Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.







Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)








Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)








Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.






Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lainlain.





Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain







  • Bidang Kedokteran

Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.














Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.




Thabib bin Qurra (836-901 M)






Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.






    • Bidang Matematika

    Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.

    Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).






      • Bidang Astronomi


      Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
      Al Farazi : pencipta Astro lobe







      Al Gattani/Al Betagnius
      Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan

      Al Farghoni atau Al Fragenius








      • Bidang Seni Ukir


      Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.

      1. Ilmu Naqli


      Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.



      Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain.

      Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.



      Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah: Al Qusyairy (wafat 465 H). Karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali: Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.



      Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).


        PERKEMBANGAN PERADABAN DI BIDANG FISIK


        Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
        Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah. Bangunannya masih kokoh berdiri hingga sekarang.




        Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.


        Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.





        Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.

        Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.

          Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.

          KEHIDUPAN PEREKONOMIAN DAULAH BANI ABBASIYAH

          Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.

          Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :

          1. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
          1. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
          1. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
          • Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
          • Membangun armada-armada dagang.
          • Membangun armada: untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajaklaut.

          Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.

          Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.

          1. Istana Qarruzzabad di Baghdad
          2. Istana di kota Samarra
          3. Bangunan-bangunan sekolah
          4. Kuttab
          5. Masjid
          6. Majlis Muhadharah
          7. Darul Hikmah
          8. Masjid Raya Kordova (786 M)
          9. Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
          10. Istana Al Hamra di Kordova

            STRATEGI KEBUDAYAAN DAN RASIONALITAS

            Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapat.
            Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki.

            Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187). Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
            1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :

            • Pembentukan lembaga wizarah
            • Pemindahan ibukota

              1. Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:

              • Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
              • Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.

                1. Kebudayaan Yunani Sebelum dan sesudah Islam, terkenal lah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang termasyur diantaranya adalah:

                • Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.



                • Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.



                • Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.

                  1. Kebudayaan Arab
                  Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :

                  • Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
                  • Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.


                    CATATAN SIMPUL


                    Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlangsung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :
                    1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
                    2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
                    3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.

                    Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:

                    1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
                    2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
                    3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
                    4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
                    5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.

                    Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

                    Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.

                    Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

                    Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.

                    Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata: “Innama anji Sultan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya).”

                    Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.

                    Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

                    Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.

                    Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

                    Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

                    Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dankalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara,gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.

                    Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.

                    1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.

                    1. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

                    1. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.

                    Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:

                    1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

                    1. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.

                    Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:

                    1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

                    1. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

                    Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.

                    Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

                    Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.

                    Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

                    Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.

                    Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.

                    Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.

                    Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran

                    Faktor penyebab kemajuan peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah disebabkan oleh dua Faktor, yaitu :

                    • Faktor Internal umat Islam


                    1. Pemahaman yang utuh terhadap semangat keilmuan yang diisyaratkan oleh al Qur’an (al Qur’an banyak mengandung sinyal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).

                    1. Para pembesar kerajaan memiliki perhatian yang tinggi terhadap pentingnya Ilmu Pengetahuan bagi kehidupan manusia. Hal tersebut ditunjukkan pada semangat dan pengkajian keilmuan dan penghargaan pemerintah terhadap pakar-pakar keilmuan.

                    1. Lahirnya berbagai pusat kajian dan analisa keilmuan serta pusat-pusat penterjemahan terhadap buku-buku asing yang dibiayai oleh pemerintah, tanpa melihat bentuk dan perbedaan kajian keilmuan tersebut sehingga umat Islam telah mengalami pendewasaan dan kematangan berfikir

                    • Faktor Eksternal umat Islam


                    1. Tradisi keilmuwan telah berkembang lebih dulu di wilayah Persia, sehingga umat Islam tinggal mengembangkan dan menambah keunggulannya.

                    1. Umat Islam melakukan adaptasi terhadap budaya asing terutama ilmu / Filsafat Yunani, diteruskan dengan proses menterjemahkan buku-buku asing tersebut.

                    1. Terjadinya gerakan translitasi (penterjemahan) oleh umat Islam pada kebudayaan atau hasil karya lain, terutama buku-buku hasil pemikiran filosof  Yunani.

                    1. Proses penterjemahan tersebut melahirkan kecenderungan baru dalam tradisi berfikir. Kalau pada masa pemerintahan Bani Umaiyah, pola berfikir umat di dominasi oleh pemikiran keagamaan dan dogmatik, maka pada masa pemerintahan Bani Abasiyah berkembang pemikiran rasional analitis.

                    1. Proses tranformasi keilmuan Islam terhadap keilmuan luar lebih di dorong oleh daya tarik Filsafat, yang menurut umat Islam mempunyai sisi menarik dalam hal :

                        • Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu matematika yang mengagumkan Islam.

                        • Bahwa pada saat itu terjadi pertarungan pemikiran antara umat Islam dengan penganut Islam baru yang masih mengikuti faham / filosofi agama sebelumnya, dan mereka menggunakan logika Filsafat, maka untuk menghadapi pertarungan pemikiran dengan diperlukan pemahaman yang baik mengenai logika tersebut.

                        • Bercampurnya buku-buku keagamaan Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Yunani yang dianggap oleh umat Islam sebagai karya filsafat Yunani.

                        • Corak pembahasan keagamaan filsafat Yunani dalam hal menerangkan konsep Tuhan Yang Esa dan mencapai kebahagiaan dilakukan dengan pendekatan dan peleburan diri kepada Tuhan dan pembersihan diri (Zuhud), sebagaimana yang dijelaskan dalam filsafat ketuhanan (Theodocia) mereka.

                    Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan pendahulunya, bani Umayyah dengan sistem kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan mengumumkan seorang atau dua orang putra mahkota atau saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan kebencian diantara sesama keluarga. Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa, kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga al-Manshur mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama al-Shaffah.

                    Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah al-Saffah  ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang pertama walaupun masih ada Abu Ja’far (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi khalifah yang kedua. Kekhalifahan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dan pada periode pertama (750 – 848 M) tercatat kurang lebih 10 khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :

                    NO
                    NAMA
                    MASA BERKUASA
                    1.       
                    Saffah ibn Muhammad
                    (132 H/750 M)
                    2.       
                    Abu Ja’far al-Manshur ibn Muhammad
                    (136 H/754 M)
                    3.       
                    Mahdi ibn al-Manshur
                    (158 H/775 M)
                    4.       
                    Hadi ibn Mahdi
                    (169 H/785M)
                    5.       
                    Harun al-Rasyid ibn Mahdi
                    (170 H/786M)
                    6.       
                    Amin ibn Harun
                    (193 H/804 M)
                    7.       
                    Ma’mun ibn Harun
                    (198 H/813 M)
                    8.       
                    Mu’tashim ibn Harun
                    (218 H/833 M)
                    9.       
                    Watsiq ibn Mu’tashim
                    (227 H/842 M)
                    10.   
                    Mutawakkil ibn Mu’tashim
                    (232 H/848 M)

                    Dalam perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota negara berada di kota Anbar dekat kufah dengan istana yang diberi nama al-Hasyimiyah. Namun demi menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu akhirnya pada tahun 762 M al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan istana al-Hasyimiyah II. Dengan demikian, pusat pemerintahan daulah Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.

                    Diantara langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam menertibkan pemerintahannya antara lain :

                    1. Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.
                    2. Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya adalah Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia.
                    3. Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata.
                    4. Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
                    5. Berdamai dengan kaisar Constantine V, dan selama gencatan senjata, Bizantium membayar upeti tahunan.

                    Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun.

                    Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik yang ada, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode dengan karakteristik yang berbeda-beda pula :

                    1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
                    2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
                    3. Periode ketiga, (334 H/945  M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
                    4. Periode keempat, (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)  masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
                    5. Periode kelima, (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

                    KEBERHASILAN YANG DICAPAI


                    Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial

                    a). Bidang Material :


                    Pada zaman al-Mahdi, sebenarnya perekonomian sudah mulai menggeliat dengan peningkatan di sektor pertanian, melaluai irigasi dan peningkatan hasil pertambangan. Diantara prestasi-prestasi yang berhasil diraih al-Mahdi antara lain:

                    1. Dia membangun gedung-gedung sepanjang jalan menuju Makkah.
                    2. Masjid Agung di Madinah diperbesar tetapi menghapus nama khalifah bani Umayyah, Walid dari dinding masjid itu dan mengganti dengan namanya.
                    3. Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan Madinah kemudian Yaman yang berfungsi sebagai tempat pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.
                    4. Membuat benteng di beberapa kota khususnya Rusafa di bagian Baghdad Timur

                    Popularitas daulah bani Abbasiyah mencapai puncak peradaban dan kemakmurannya di zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun untuk keperluan sosial. Istana-istana besar, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter dan farmasi didirikan. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa sebenarnya Harun ingin menggabungkan laut tengah dengan laut merah. Namun Yahya ibn Khalid (dari keluarga barmak) tidak menyetujui gagsan itu. Pada masa al-Ma’mun menjadi khalifah, ia banyak mendirikan sekolah-sekolah. Salah satu karya terbesarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang sangat besar.


                    Baghdad, kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia, merupakan tempat perdagangan yang kerap kali dikunjungi oleh pedagang dari India dan Cina. Para Insinyur, tukang batu, dan para pekerja tangan didatangkan dari Syiria, Bashra, Kufa untuk membantu didalam memperindah kota. Bahkan di daerah pinggir kota ini sudah terbagi menjadi empat bagian pemukiman yang masing-masing mempunyai seorang pemimpin yang dipercaya untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di zaman Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia sebagai sentral perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Masjid-masjid dan bangunan-bangunan  lain semakin bertambah banyak dan menjadi hal menarik dalam kesenian muslim.