Islamic Painting Club

Islamic Painting Club
Karya : GUNUNG SUKATON, Pengelola SEKAR IMAGE

Senin, 10 Desember 2018

MENDIDIK ANAK DENGAN CINTA


MOTTO
“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat.”
(HR. Muslim)
     

KONSEP MENDIDIK ANAK DENGAN CINTA DALAM PEMIKIRAN IRAWATI ISTADI


I. Konsep Pendidikan Anak Tinjauan Teoritis dalam Perspektif Islam

1. Definisi dan Tujuan Pendidikan Anak

 Pendidikan berasal dari kata didik atau paedagogie yang berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.[41] Adapun pendidikan dalam Islam dikenal dengan sebutan “Tarbiyah Islamiyah” yang merupakan pengertian menurut etimologi sebagaimana yang dipaparkan oleh para ahli adalah proses pemeliharaan, pengembangan, dan pembinaan keseluruhan potensi diri manusia.[42][43] Pendidikan, menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang yang disebut dengan istilah ta’dib.[44] Menurutnya, struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.[45]  
 Berdasarkan definisi pendidikan di atas, ada satu hal penting dalam proses pendidikan yaitu upaya untuk melatih peserta didik. Pendidik perlu membiasakan peserta didik untuk senantiasa terlatih dalam usaha pengembangan kepribadiannya. Hal tersebut senada dengan hadits Nabi Muhammad SAW :
َعَن عمروبن شُعَْیْب عَْنْ اب یْاَب ِ ْی ِھِھ عَِْنْ َجَدِّ ِهِ  قاََلَ رَسُوُلُ  َّﷲَّ ﷲِ َصَل  َّى ﷲﷲُ عَلیَْعلَ ْی ِھِھِ وََسَل  ََّمَ : مُُرُوا
أ وْلَادَكُأ َ ْو َلا َد ُكْمْمْ ب ِالصَّ لَاِةِ وَھُْ أ بْناَأ َ ْبنَا ُءُءُ سَبِْعِ سِنیِسنِی َنَنَ وَاضْرِبوُھُْ عَلیْھَعلَ ْیھَاَاَ، وَھُْ أ بْناَأ َ ْبنَا ُءُءُ عَشٍْرٍ وَفرِّ َقُوا
 بیَْنھَُْ فِي اْلمَضَاِجِع
Artinya: “Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah SAW berkata, “Suruhlah anakmu mendirikan shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur 10 tahun. (Pada saat itu), pisahkan tempat tidur mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)[46] 

Hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW mengajarkan agar anak dilatih untuk mengerjakan shalat sejak kanak-kanak yakni pada usia 7 tahun. Kemudian dalam masa latihan si anak, bila telah berusia 10 tahun namun meninggalkan shalat maka orangtua dibolehkan untuk memukul anaknya (bukan memukul untuk melukai) untuk mengingatkan dan menjaga anak agar dalam latihannya merasakan bahwa shalat merupakan keharusan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Dengan kata lain, dalam mendidik diperlukan pembiasaan sejak usia dini sehingga akan menimbulkan kebiasaan bagi anak dalam melaksanakan perintah agama.
Lain halnya dari beberapa definisi di atas, Ki Hajar Dewantara dalam Anita Yus, menyatakan bahwa pendidikan adalah ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani. Pendidikan dilaksanakan dengan memberi contoh teladan, memberi semangat, dan mendorong anak untuk berkembang. Sistem yang dipakai ialah sistem  “among” dengan maksud memberi kemerdekaan, kesukarelaan, demokrasi, toleransi, ketertiban, kedamaian, kesesuaian dengan keadaan, dan hindari perintah dan paksaan. Sistem ini mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, pikirannya, dan tenaganya, serta dapat mencari pengetahuan sendiri. Filosofi (pandangan) Ki Hajar Dewantara yang dianut adalah asah, asih, dan asuh.[47] 
Lebih lanjut, Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif. Usaha itu banyak macamnya, satu diantaranya dengan cara mengajarnya, yaitu mengembangkan
pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu ditempuh juga usaha lain, yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, serta mendidik dengan cara membiasakan agar terbentuk perkembangan yang maksimal dan positif.[48]
Pendidikan dalam Islam selalu mendasarkan pada konsep dasar manusia (anak) itu sendiri. Anak adalah generasi penerus bangsa. Anak dan masa depan adalah satu kesatuan yang dapat diwujudkan untuk membentuk suatu generasi yang dibutuhkan oleh bangsa terutama bangsa yang sedang membangun. Peningkatan keterampilan, pembinaan mental dan moral harus lebih ditingkatkan begitu juga dengan aspek-aspek lainnya. Mengahadapi era globalisasi yang ditandai dengan berbagai perubahan tata nilai, maka anak harus mendapat pembinaan intensif dan terpadu. Untuk itu, orangtua harus memperhatikan perkembangan jasmani, ruhani, dan akal anak-anaknya.[49][50] 
Anak menurut Al-Ghazali adalah amanat dari Allah SWT dan harus dijaga dan dididik untuk mencapai keutamaan dalam hidup.[51] Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai
penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.[52]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak dalam Islam adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa seperti orangtua, guru,
atau orang lain dalam hal mengembangkan potensi pikir anak, mengembangkan potensi rasa anak, mengembangkan potensi kerja anak, mengembangkan potensi sehat anak dan membentuk kepribadian baik anak.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat simpulkan bahwa pendidikan anak dalam Islam adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam membimbing dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik agar anak tersebut memiliki kepribadian yang baik, baik dari segi jasmani maupun rohani sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, yaitu membimbing anak tersebut menjadi manusia yang paripurna (insan kamil).   Konsep dalam pendidikan anak tidak terlepas pada tujuan dari
pendidikan anak itu sendiri. Akmal Hawi dalam bukunya Dasar-Dasar Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk individu menjadi bercorak diri yang bernilai tertinggi menurut ukuran Allah
dengan mempergunakan isi ajaran Allah yang menjadi bahan pembentukannya. Nabi Muhammad SAW mendapat pendidikan Islam dari Allah dan corak diri beliau merupakan hasil dari pendidikan itu. Adapun bahan pembentuk corak diri beliau adalah Al-Qur’an. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup yang ditetapkan oleh Allah SWT. Di dalam AlQur’an telah Allah beritahukan tujuan diadakannya atau dihidupkannya manusia atau tujuan hidup manusia yang berbunyi: “Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzuriyat:
56). Dengan demikian, tujuan hidup manusia adalah untuk menjadi pengabdi Allah, menjadi pelayan Allah, dan penurut kemauan Allah.[53] 
 Athiyah Al-Abrasyi, dikutip dalam Haidar menyatakan bahwa tujuan dalam pendidikan adalah untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.[54]
Adapun menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Pola Asuh Orangtua dan Komunikasi dalam Keluarga, menyatakan bahwa pendidikan
bertujuan, sebagai berikut:[55]
a.    Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
b.    Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
c.    Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
d.    Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
e.    Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan anak dalam Islam adalah membentuk dan menyiapkan anak didik menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang cerdas, berakhlak mulia, dan terampil, sehingga dapat berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat simpulkan bahwa tujuan dalam pendidikan anak dalam Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yaitu menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berbudi luhur menurut ajaran Islam dan untuk mensejahterahkan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

2. Dasar dan Sumber Pendidikan Anak

Dasar-dasar pendidikan secara prinsipil diletakkan pada ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan dalam Islam yang pertama dan utama adalah AlQur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah juga dapat diartikan sebagai dasar disamping juga sebagai sumber dari pendidikan. Al-Qur’an misalnya, memberikan prinsip sangat penting bagi pendidikan, yaitu penghormatan kepada akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, serta memelihara kebutuhan sosial.[56] Sejalan dengan itu, Haidar dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Mencerdaskan Bangsa juga mengemukakan bahwa dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Di atas kedua pilar inilah dibangun konsep dasar pendidikan Islam. Kedua pilar itu pula yang melahirkan pendapat para ulama dan cendikiawan muslim tentang dasar pendidikan Islam. Dengan demikian lahirnya dasar ketiga, yaitu ijtihad para ulama dan cendikiawan muslim tentang pendidikan Islam.[57] 
Samsul Nizar dalam Djamarah, mengatakan bahwa menetapkan Al-
Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar pendidikan dalam Islam, tidak hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan, tetapi justru karena kebenaran yang ada di dalam kedua dasar itu dapat diterima oleh nalar manusia.[58] Ijtihad sebagai dasar pendidikan Islam yang ketiga dipandang sangat penting dalam menghadapi tuntutan kemajuan di bidang pendidikan dalam segala zaman. Meski begitu, ijtihad tidak bisa dilakukan sebebasbebasnya, terlepas dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan AsSunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.60 Maka, dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa konsep pendidikan Islam sejatinya harus berpedoman pada Al-Qur’an dan AsSunnah. 
Adapun sumber pendidikan anak dalam Islam diantaranya terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Luqman ayat 13-15, yang berbunyi:
   وَإْذَْوإِْذ قَ لَاَلُْقمَاُنُ لِابْنِلا ْبنِ ِھِھِ وَھَُ یعَِظ ھیَ ِعظ ُھُ یَاَ بنُيَّ َ َلَا تشُْرِْكْ ب ِا  َّ ِ ۖ إإِنَّ  الشِّ رَْكَ لظَ للَظ ُْلٌمٌمٌ عَظِیٌمٌ  (١٣)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia member pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.”[59]  
 وََوَصَّ یْنَاَ الْإ نْنََسااْلإِ ْن َسا ب وَالدَیْب ِ َوالِ َد ْی ِھِھِ حَمَلتْھَحَملَْتھُ أأ ُمُّ ھمھُ وَھْنًاً عَلَٰ وَھٍْنٍ وَفصَِال ھَوفِ َصال ُھُ فِيِ عَامَیِْنِ أأ َ ِنِنِ اشْكُْرْ لِي  وَلوَالدَیَْولِ َوالِ َد ْی َكَكَ إ لإِلَيَّ َ  اْلمَصِیُرُ  (١٤)
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Hanya kepada
Aku kembalimu.”[60]

وَإَوإِ ْنْنْ َجَاھدََاَكَ عَلَٰ أأ َ ْنْنْ تشُْرَِكَ ب ِي َمَا لیْلَ ْی َسَسَ لََ بب ِ ِھِھِ عِْلٌمٌ فََ تطِعْھتُ ِط ْعھُ َماَُمُ ۖ وَصَاحِبْھَُمُ فِي
الدُّ نْیَاَ مَعْرُوفًا ۖ َوَات َّبب ِ ْعْعْ سَب یَسب ِی َلَلَ مَْنْ أ ناَأ َنَا َبَبَ إ لإِلَثيَّ َُمَّ ۚ   إ لإِلَيَّ َ مَرْجِعُكُْمْ فأَ نفَأ ُنَبَبَئِّ كُئُ ُكْمْمْ بب ِ َمَا كُنْتُْ  تعَْمَل وتَ ْع َمل ُو َنَنَ  (١٥)
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali       kepada-Ku.      Kemudian        hanya kepada-Ku       tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”[61]

 Bila diperhatikan ayat 13 Surat Al-Luqman di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT menjelaskan secara jelas mengenai ucapan-ucapan Luqman ketika mendidik anaknya. Pada ayat tersebut Luqman memanggil anaknya dengan panggilan mesra “Ya Bunayya” yang berarti hai anakku, sebagai isyarat bahwa mendidik anak haruslah didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didiknya. Pada ayat di atas, Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik (mempersekutukan Allah).
Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Setelah kewajiban mengesakan Allah SWT, selanjutnya pada ayat 14 dan 15 Luqman menasihati anaknya untuk senantiasa menghormati kedua orangtua, khususnya kepada ibu. Nasihat Luqman untuk berbuat baik kepada ibu bapak, sopan santun kepada keduanya, menaati perintahnya dan memperakukannya dengan baik merupakan tata krama dalam bermasyarakat. Di sini Luqman mengemukakan pokok-pokok ajaran Islam yang bersifat umum tentang berbuat baik kepada orangtua, walaupun keduanya tidak beriman (kafir), tetapi berbuat baik harus tetap dilakukan, tentunya pada urusan-urusan keduniaan dan tidak mengikutinya jika mengajak kepada kekafiran. Jadi, dapat dipahami bahwa ayat di atas merupakan sumber pendidikan anak dalam Islam yang menjadi pedoman diwajibkannya mendidik anak dengan baik bagi orangtua maupun pendidik lainnya.  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat simpulkan bahwa dasar dari pendidikan anak dalam Islam terdiri dari tiga, yaitu berupa: AlQur’an, Hadits, dan Ijtihad. Adapun sumber diwajibkannya bagi orangtua atau pendidik untuk mendidik anak  telah Allah SWT terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Luqman ayat 13-15. Makna dalam ayat tersebut menceritakan bagaimana Luqman mendidik anaknya untuk mengesakan Allah SWT dan menghormati kedua orangtua. Karenanya, dapat dipahami bahwa ayat tersebut merupakan dalil diwajibkannya orangtua atau pendidik lainnya untuk mendidik anak.

3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak

 Prinsip dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak dan sebagainya). Dalam bahasa Inggris dijumpai kata prinsip disebut principle yang diartikan asas, dasar, prinsip, dan pendirian.64 Adapun dalam pendidikan, menurut Suyadi dalam Atabik, menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam pendidikan anak,
antara lain:65
a.    Berorientasi pada kebutuhan anak.
b.   Pembelajaran anak sesuai dengan perkembangan anak.
c.    Mengembangkan kecerdasan majemuk anak.
d.   Belajar melalui bermain.
e.    Tahapan pembelajaran anak usia dini.
f.     Anak sebagai pembelajar aktif.
g.   Interaksi sosial anak.
h.   Lingkungan yang kondusif.
i.     Merangsang kreativitas dan inovasi.
j.     Mengembangkan kecakapan hidup.
                                               
 64  Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 101-102  65 Ahmad Atabik, 2015, Prinsip dan Metode Pendidikan Anak Usia Dini, (Online), (http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/thufula/article/download/1250/pdf), Vol. 3, No. 2, hlm.
273, 29 Januari 2017, Pukul 15.30
k.   Memanfaatkan potensi lingkungan.
l.     Pembelajaran sesuai dengan kondisi sosial budaya.
m. Stimulasi secara holistik.
 Lain halnya dengan prinsip di atas, prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam, antara lain sebagai berikut:[62]
a.    Prinsip Keseimbangan
Manusia yang dibentuk oleh pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang berkeseimbangan, antara:
1)   Jasmani dan Rohani
2)   Dunia dan Akhirat
3)   Akal dan Qalbu
4)   Individu dan Masyarakat
b.    Prinsip Pengembangan Potensi
Allah SWT telah menciptakan potensi lahir dan batin, fisik dan non-fisik pada diri seseorang. Potensi fisik adalah tubuh jasmaniah manusia yang berwujud nyata yang dikembangkan menjadi manusia yang sehat, segar, dan tegar. Potensi non-fisik manusia, berupa akal, qalb, nafs, dan ruh. Potensi ini masing-masing memiliki bidangnya sendiri-sendiri. Akal untuk berpikir, qalb untuk merasa, nafs untuk mendorong, ruh sumber kehidupan manusia. Kesemua potensi ini harus dididik agar aktif melahirkan
kontribusi bagi pencapaian kemaslahatan manusia.
c.    Prinsip Pengembangan Ilmu
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukaan kepada malaikat, lalu berfirman “Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda jika kamu memang orangorang yang benar.” (Al-Baqarah : 31). Ayat ini merupakan landasan dan dasar tentang pengembangan ilmu dalam Islam. Allah mengajari Adama tentang ilmu pengetahuan. Seteleah Adama berilmu, Allah menguji malaikat, dengan menanyakan apa nama benda-benda tersebut. Lalu para malaikat menjawab, “Maha Suci Engkau tiada yang kami ketahui kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah : 32). Selanjutnya Allah menyuruh Adama, menyebut benda-benda itu semua, lalu Adam menyebutkannya (Al-Baqarah : 33). Kemudian Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Maka sujudlah malaikat kecuali iblis (AlBaqarah : 34). Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan ilmu sangat penting; karena itulah orang berilmu sangat dimuliakan kedudukannya dalam Islam.
d.    Prinsip Pembentukan Manusia Seutuhnya
Manusia dalam pandangan Islam ialah manusia yang memilki berbagai dimensi dan aspek. Kesemua aspek itu merupakan komponen-komponen. Dan komponen-komponen itu manyatu dalam satu tujuan. Sehingga dengan demikian akan membentuk sebuah sistem. Pada diri seorang muslim terdapat berbagai aspek, baik aspek fisik maupun aspek non-fisik.
                      Kesemuanya      dibentuk      sehingga      menjadi      manusia      seutuhnya.
Pendekatannya harus komprehensif dan holistik, tidak bisa parsial.  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan anak dalam Islam, antara lain:
a.    Berorientasi pada kebutuhan anak.
b.    Mengembangkan potensi jasmani dan rohani, yaitu fisik dan jiwa anak.
c.    Mengembangkan kecerdasan pada diri anak, baik berupa intelektual maupun spiritual.
d.    Pendidikan anak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
e.    Membentuk anak menjadi manusia seutuhnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat simpulkan bahwa secara garis besar pada dasarnya prinsip pendidikan anak dalam Islam adalah mengembangkan potensi yang ada pada diri anak berupa akal dan jiwa, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak, dan membentuk anak tersebut menjadi manusia yang paripurna, yaitu manusia yang baik dari segi perilaku, pengetahuan, dan keterampilan. 

4. Materi dan Metode Pendidikan Anak

 Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya. Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad Fil Islam menekankan materi pendidikan anak yang bersifat mendasar dan universal.
Materi-materi tersebut adalah pendidikan iman, moral, fisik, intelektual, psikis, sosial, dan seksual.
a.    Pendidikan Iman
Yang pertama dalam memberikan materi kepada anak didik adalah dengan menanamkan keimanan. Yang dimaksud dengan pendidikan Iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan
mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat usia tamyiz. Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan ialah segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, semisal beriman kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua Rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh dua malaikat, beriman kepada siksa kubur, beriman kepada hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan seluruh perkara ghaib lainnya.[63]
b.   Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga menjadi seorang mukalaf.[64]
Pendidikan moral merupakan tanggung jawab yang besar bagi pendidik, sehingga pendidikan moral perlu mendapatkan perhatian oleh para orangtua, wali dan pendidik. Diantara etika dasar yang perlu mendapat perhatian dan perlu diterapkan oleh para orangtua dan pendidik di dalam mendidik anak-anak adalah membiasakan mereka berakhlak baik, sopan santun, dan bergaul dengan baik bersama orang lain.[65]
c.    Pendidikan Fisik
Diantara tanggung jawab lain yang diberikan Islam di atas pundak para pendidik, termasuk ayah, ibu, dan pengajar adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Fenomena yang membahayakan dan dapat merusak kehidupan anak,
diantaranya ialah: 1) Merokok
2)   Kebiasaan onani
3)   Minuman keras dan narkotika
4)   Zina dan homoseksual[66]
d.   Pendidikan Rasio (Akal)
Pendidikan rasio atau akal merupakan pendidikan yang menjadikan Islam mengalami kemajuan karena terlahirnya para intelektual Islam yang ahli dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mengembangkan potensi akal sangatlah penting. Yang dimaksud pendidikan rasio (akal) adalah membentuk (pola) piker anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti: ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian pikiran anak menjadi matang, bermuatan ilmu, kebudayaan, dan sebagainya. Semua materi yang dijelaskan di atas saling berkaitan erat. Karena, pendidikan keimanan adalah sebagai penanaman fondasi, tanggung jawab pendidikan fisik/jasmani merupakan persiapan dan pembentukan, dan pendidikan moral merupakan penanaman dan pembiasaan. Sedangkan pendidikan rasio (akal) merupakan penyadaran, pembudayaan dan
pengajaran.[67]
e.    Pendidikan Kejiwaan
Materi pendidikan yang kelima adalah pendidikan kejiwaan. Maksud dari pendidikan kejiwaan ini adalah mendidik anak semenjak anak mulai mengerti agar anak berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Tujuan dari pendidikan ini adalah membentuk, membina, dan menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna.[68]

f.     Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial, dasar-dasar kejiwaan yang mulia bersumber pada akidah Islam yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat ia mampu bergaul dan berperilaku dengan baik, serta memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang
bijaksana.[69]
g.   Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan.[70] Pendidikan seksual ini dimaksudkan agar ketika anak tumbuh dewasa, maka ia memahami dan mengetahui pergaulan yang diharamkan dan dihalalkan.
 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa materi pendidikan anak dalam Islam, yaitu berupa pendidikan iman, moral, fisik, rasio (akal), kejiwaan, sosial, dan seksual, yang kesemuanya itu dinilai sangat berpengaruh bagi proses perkembangan dan pendidikan anak.
Untuk menanamkan materi-materi pendidikan anak di atas, maka pendidik atau orangtua tentu memerlukan metode pendidikan pada anak sebagai penunjang untuk mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan. Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang dipergunakan dalam upaya mendidik.[71] Kemudian, menurut Abdul Munir Mulkan dalam Samsul Nizar, mengemukakan bahwa metode pendidikan adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak.[72]
Adapun macam-macam metode pendidikan anak dalam Islam, antara
lain:
a.    Metode Hiwar (Percakapan) 
Metode percakapan adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik dan sengaja diarahkan pada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik.[73] 
b.   Metode Keteladanan
Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya, ini diakui oleh semua ahli pendidikan, baik dari barat maupun dari timur. Dasarnya ialah karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek pun juga ditiru.[74] Dengan demikian, maka mendidik dengan cara keteladanan sangat baik dilakukan. Selayaknya seorang pendidik menjadi figure teladan yang patut untuk ditiru.
c.    Metode Pembiasaan
Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Apa yang dibiasakan? Yang dibiasakan adalah sesuatu yang baik. Inti pembiasaan adalah pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan. Bila anak didik masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru sebaiknya mengingatkan agar bila masuk ruangan hendaklah mengucapkan salam. Ini juga satu cara membiasakan.[75]
d.   Metode Nasihat
Al-Qur’an menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian dikenal dengan nasihat. Menurut Abuddin Nata, Al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur‟an berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat, situai nasihat, dan latar belakang nasihat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasihat dapat diakui kebenarannya.[76]
e.    Metode Targhib dan Tarhib
Ahmad Tafsir menjelaskan dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam, tentang metode pendidikan dengan targhib dan tarhib.
Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Adapun tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah SWT. Sama halnya dengan tarhib, namun titik tekannya adalah targhib untuk melakukan kebaikan, sedangkan tarhib adalah untuk menjauhi kejahatan. Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya adalah Targhib dan Tarhib berdasarkan ajaran Allah SWT, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi.[77]
 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat  lima metode dalam mendidik anak, yaitu:
a.    Metode hiwar (percakapan), yaitu metode dialog antara dua pihak
b.    Metode keteladanan, yaitu metode yang berpusat pada seorang pendidik yang memberikan contoh yang baik baik anak didik.
c.    Metode pembiasaan, yaitu membiasakan seorang murid untuk melakukan suatu hal yang baik.
d.    Metode nasihat, yaitu memberikan kata-kata hikmah kepada anak didik agar termotivasi untuk melakukan suatu hal yang baik.
e.    Metode targhib dan tarhib, yaitu metode ganjaran (kesenangan) dan hukuman untuk anak.
 Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa demikianlah berbagai macam materi dan metode pendidikan yang memberikan bekas pada anak. Materi dan metode-metode tersebut bersifat esensial, praktikal dan efektif. Jika dapat dilaksanakan dengan segala batasan dan persyaratannya, maka tidak diragukan anak akan menjadi manusia yang berarti, dihormati, dikenal di antara kaumnya sebagai orang yang bertakwa, ahli beribadah dan ihsan. Jika kita menginginkan kebaikan pada diri anak, kebahagiaan bagi orangtuanya, ketentraman bagi masyarakat, hendaknya materi dan metode-metode tersebut tidak diabaikan. Dan hendaknya kita berlaku bijaksana dalam memilih materi dan metode yang paling efektif dalam situasi dan kondisi tertentu.

5. Mendidik Anak dengan Cinta menurut Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadits

 Sebelum membahas lebih jauh tentang mendidik anak dengan cinta, ada baiknya peneliti menjelaskan sedikit pengertian cinta. Cinta merupakan perasaan yang satu dengan yang lainnya, rasa memiliki dan ini merupakan perasaan yang terdalam dalam diri manusia. Cinta atau al- mahabbah berasal dari kata al-shafa. Orang-orang Arab biasa menyebut cemerlangnya warna putih pada gigi dengan kalimat hababu al-asnan. Ada yang mengatakan, sesungguhnya kata al- mahabbah atau cinta itu diambil dari kalimat alhubbab yang berarti seseorang yang berada di atas air ketika turun hujan yang cukup lebat. Jadi, seolah-olah ia seperti gejolak dan ketegangan hati ketika sedang sangat merindu. Perasaan berdebar-debar ketika akan bertemu sang kekasih disamakan seperti itu. Ada yang mengatakan, kalimat al-mahabbah yang berarti cinta itu diambil dari kata al-tsabat wa al-iltizam. Di antaranya, ahabba al-ba’ir, idza Baraka falam yaqum, seekor onta itu sedang mencinta, yakni ketika ia tetap menderum dan tidak mau berdiri. Sebab, hati orang yang sedang mencinta itu biasanya selalu menderum atau terpaut pada orang yang dicintainya. Ada pula yang mengatakan, kalimat al-mahabbah itu diambil dari kalimat al-hubb plural atau jama’ dari kalimat tunggal hubbatun, yakni isi atau pokok sesuatu. Sebab, hati adalah pokok dari eksistensi atau inti seorang manusia, dan sekaligus juga tempat penitipan serta penyimpanan cinta.[78][79]
 Hakikat cinta adalah pemberian seutuhnya darimu kepada yang kau cintai sehingga tak ada sesuatu pun yang terasa darimu. Hakikat cinta adalah sesuatu yang tak dapat terkurangi sebab keburukan dan tidak pula bertambah sebab kebaikan.[80] Adapun menurut Musfir bin Said Az- Zahrani dalam Rusli, mengatakan bahwa cinta adalah pengikat kuat yang mengikat antara manusia dengan tuhannya, sehingga ia selalu ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, dalam mengamalkan ajaran-ajaran-Nya, dan selalu istiqamah kepada agamanya. Cinta juga yang menyatukan secara spiritual antara seorang muslim dengan Rasulullah SAW, sehingga ia selalu berusaha istiqamah dalam mengikuti tuntunan Rasulullah, serta menjadikan beliau sebagai teladan tertinggi baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga cinta merupakan suatu kondisi psikologis terpenting, yang menyatukan dan mengharmoniskan hubungan antara sesama manusia.[81] Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa cinta adalah sebuah pengikat kuat yang dapat mengikat pada siapa saja; antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia, seorang kekasih dengan kekasihnya, seorang suami dengan istrinya atau sebaliknya, dan antara orangtua dengan anaknya.
 Dalam sebuah hadits qudsi yang dikutip oleh Musthafa Dieb  AlBugha dan M. Sa’id Al-Khim, dalam bukunya Al-Wafi, bahwa Allah SWT memberikan gambaran tentang makna dan hakikat cinta sejati yang berbunyi:
عَْنْ أ بأ َب ِيِي ھرَُیرَةھُ َریْ َرةَ رضي ﷲ عنھ قاََلَ ق: اََلَ رَسُوُلُ  َّﷲَّ ﷲِ َصَل  َّى  َّﷲَّ ﷲُ عَلیَْعلَ ْی ِھِھِ وََسَل  ََّمَ إ: إِنَّ   َّﷲَّ ﷲَ
قاََلَ امَْنْ َدَىَعَ لِي وَلیَولِیً ّاّا فقفَقَ ْدَْ آذَنْتھآ َذْنتُھُ ب اْلحَرْب ِ ْال َح ْر ِبِبِ وََمَا تقَرَّ ََبَ إ لإِلَيَّ َ عَبِْدِي ب شَيْب ِ َش ْي ٍءٍءٍ أأ َ َحَحَبَّ  إ لإِلَيَّ َ
ِمِمَّ ا افْترََضُْتُ وَماعَََل یَیِْھ  زََِاُلُ عَبِْدِي یتَقَرَّ َُبُ إ لإِلَيَّ َ ب ِالنوَافَوافِ ِلِلِ َحَتىَّ  أأ ُ ِحبِحِبھَّ ھُ فإَفَإِ َذاَذَا أ حْببَْتھأ َ ْحبَ ْبتُھُ كُنُْتُعَھ  سَُالْمَّ ِْذِي یسَْمَُعُ بب ِ ِھِھِ وَبصََرَهَوبَ َص َرهُ ال  َِّذِي یبُْصُِرُ بب ِ ِھِھِ وَیدََهَویَ َدهُ ال  َّتِي یبَْطُِشُ ب ھب ِھَاَاَ وَرِجْلھََو ِر ْجلَھُ
ال  َّت ِي یمِْشِي ب ھب ِھَاَاَ وَإَوإِ ْنْنْ سَأ لنَسأ َلَنِيِي لاعَْیِط َنَِھَّ ھُ وَلئَولَئِ ْنْنْ اسْتعََاذَنِي لاعَِیَذَن َّھھُ    (رواه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT befirman: Barangsiapa memusihi wali-Ku, maka Kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada- Ku dengan suatu amal lebih Kusukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia
meminta kepada-Ku pasti Kuberi dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti kulindungi. (HR. Bukhari)[82]

Demikianlah hadits di atas menjelaskan hakikat dan tabiat cinta yang dicontohkan oleh Allah SWT kepada makhluk-Nya, lalu kemudian
dikaruniakan-Nya pada setiap makhluk dalam menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa cinta. Khususnya dalam pendidikan, karakter cinta memberikan ruang bagi sang pecinta (subjek) dalam memberikan perlindungan dan penjagaan untuk yang dicinta (objek) menuju proses tumbuhkembangnya, sehingga aspek cinta tersebut dapat diimplementasikan dalam proses pendidikan sebagai sarana dalam mengembangkan potensi anak didik.
Selain itu cinta adalah kasih sayang. Kasih sayang memiliki daya untuk menghidupkan semangat anak.[83] Sehingga dalam hal ini Ibrahim Amini dalam Arisman, meringkaskan tema kasih sayang dalam kehidupan manusia sebagai berikut:
a.    Kasih sayang adalah kebutuhan alami manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa makanan dan minuman, demikian manusia tidak bisa hidup tanpa kasih sayang. Manusia mencintai dirinya dan ingin dicintai oleh orang lain. Anak tidak begitu peka tetapi ia sangat peka dengan perasaan orang lain terhadapnya.
b.    Kasih sayang adalah kebutuhan asasi setiap orang, maka kasih sayang sedemikian dahsyatnya mempengaruhi kehidupan anak manusia. Anak yang dibesarkan dalam limpahan kasih sayang akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan kuat.
c.    Kasih sayang mempengaruhi kesehatan fisik. Hati yang berbunga-bunga karena limpahan kasih sayang akan menyehatkan saraf dan fisik. Anakanak yang kenyang dengan kasih sayang, tubuhnya akan lebih sehat bila dibandingkan dengan anak tanpa kasih sayang.
d.    Anak-anak yang besar dalam limpahan kasih sayang orangtua akan menjadi anak-anak yang memiliki hati yang kuat. Karena sudah merasakan kebahagiaan kasih sayang dari orangtuanya, maka ia juga akan memperlakukan orang lain dengan penuh kecintaan dan kasih sayang.[84]  Orangtua atau pendidik hendaknya didasari dengan cinta dan kasih sayang dalam mendidik. Dengan cinta dan kasih sayang akan terjalin hubungan yang baik antara orangtua atau pendidik dengan anak. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: 
قاََلَ رَُسُول الل صلى ﷲ علیھ وسلم :   مَثَُ المُؤْمِنیَنَ في تََوَدِّ ھِْمْ وترََاحُمھْمْ
وَتعَاَط فھَعاط ُفِھ ْمْمْ ، مَثَُ الجَسَِدِ إإِ َذاَذَا اشْتََكَ مِنْھِمْنھُ عُضٌْوٌ تدََاَعَى لھَلَھُ سَائَسائِ ُرُرُ الجَسَِدِ ب ِالسَّ ھَِ
  والُحُمَّ ى  (رواه مسلم)
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling berkasih sayang adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh meraa mengaduh dengan terus jaga tidak bias tidur dan merasa panas.” (HR. Bukhari-Muslim)[85]

 Maka, mendidik anak dengan cinta adalah bagaimana cara pendidik untuk lebih keatif menunjukkan rasa cinta kepada anak didiknya. Dengan begitu anak diharapkan dapat mengetahui dan merasakan bahwa mereka dicintai. Jika sejak dini mereka dididik dengan cinta, maka mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang mandiri, kreatif dan penuh percaya diri. Dengan itu semua, mereka akan memandang dunia secara positif, karena cinta merupakan bagian dari kehidupan.[86]
 Hassan Syamsi Basya mengatakan, sebuah pendidikan tidak akan pernah sempurna tanpa cinta. Anak yang mendapatkan cinta, simpati dan perhatian dari pendidik mereka (orangtua, guru, dan lain sebagainya), akan tertarik kepadanya dan mendengarkan semua yang diajarkan kepadanya dengan pendengaran dan hati. Oleh karena itu, seorang  pendidik harus melatih dirinya untuk selalu mencintai anak serta menjauhkan diri dari segala perbuatan yang dapat membuat anak marah dan menjauh seperti mencaci, sanksi yang berulang-ulang, menyepelekan, mengekang kebebasan serta mengenyampingkan kebutuhan primer mereka.[87]
Kewajiban orangtua dalam mendidik anak pun tidak hanya sebatas memberikan cinta dan kasih sayang, melainkan juga harus bersikap tegas manakala ketika anak melanggar syari’at agar setiap perilaku anak tersebut masih berada pada koridor ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
ی َآی َُّھَاالذِیَْنَ ءَامَنُوُا قُوا أ نْفسَُكُأ َ ْنفُ َس ُكْمْمْ وَأ ھْلیْكَُوأ َ ْھلِ ْی ُكْمْمْ ناًَرًا وَقودُھَوقُو ُدھَاَا الن َّاُسُ وَالْحِجَاَرَة ُ .... (٦) 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”[88]

Namun, ketika hendak menegur perilaku anak, orangtua hendaknya menegur dengan lemah lembut. Berlaku lemah lembut kepada anak didik merupakan salah satu langkah serta upaya untuk mendekatkan diri dan menanamkan rasa cinta kepada anak didik. Karena, dengan perlakuan lemah lembut dapat mendekatkan seorang pendidik kepada anak didik, begitu pula sebaliknya. Mendidik anak tidak perlu dengan cara-cara yang kasar, seperti menghukum, berkata-kata keras dan kasar. Cara seperti itu tak mungkin berhasil, malah sebaliknya cara tersebut akan membuat serta menimbulkan pada diri anak didik.[89] Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah mengingatkan secara khusus             kepada             Nabi    Muhammad     SAW   agar
meninggalkan cara-cara kasar. Sebab, kekasaran bukan mendekatkan umat kepadanya, tetapi justru akan menjauhkan mereka darinya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali- Imron ayat 159: 
فبَفَب ِ َماَمَا ْ مٍَةٍَرح مَِنَ  َّﷲَّ ﷲِ لنْلِْن َتَتَ لھَُْ وَلَْ كُنَْتَ فظَفَظ ًّاًا غَلیظَغلِیظَ اْلقلَْالقَل ْ ِبِبِ لانْفضُّ َوا مِْنْ حَوْلَِ فاَعُْفُ عَنْھُْ وَاسْتغَْفِْ لھلَھُ ْمُْ وَشَاوِرْھُْ فِيِ الأمِْرِ فإَفَإ ِ َذاَذَا عَزَمَْتَ فتَََكَّ ْلْ عَلَىَ  َّﷲَّ ﷲِ إإِنَّ   َّﷲَّ ﷲَ یُِبُّ   اْلمُتََكِّ لیكلِی َنَنَ (١٥٩)    
Artinya: “Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” [90]

 Jadi, dapat dikemukakan dari penjelasan ayat tersebut dimana ayat ini ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW secara khusus dalam membina umatnya, tapi yang perlu dipahami pembinaan disini bersifat universal bukan secara khusus. Ayat di atas juga berlaku bagi orangtua atau pendidik dalam mendidik anak-anaknya. Jika mereka ingin agar anaknya lebih mendekat, maka jalan yang semestinya ditempuh adalah dengan lemah lembut, kasih sayang, dan tidak dengan kekerasan serta kasar. 
Karenanya, dari berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa mendidik anak dengan cinta dalam Islam adalah suatu usaha dalam memberikan pendidikan pada anak dengan meletakkan cinta dan kasih sayang pendidik (orangtua, guru, dan lain sebagainya) tanpa meniadakan sikap tegas orangtua sehingga dapat menimbulkan pribadi, sikap mental dan akhlak yang baik bagi anak sesuai dengan yang diajarkan di dalam Islam.
                                   Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa
mendidik anak dengan cinta yang disertai kasih sayang sangatlah penting, karena mendidik anak dengan cinta adalah upaya untuk mendidik anak dengan memberikan pendidikan yang mengutamakan perasaan senang dan lemah lembut sesuai dengan ajaran Islam. Dalam menyampaikan pelajaran, pendidik dianjurkan untuk menyampaikan kepada anak didik dengan penuh cinta dan kasih sayang, juga mengoreksi pekerjaan siswa dengan hati yang ringan dan senang tanpa harus mencaci, menyepelekan, dan memberikan hukuman yang berlebihan bagi anak yang melakukan kesalahan, sehingga pendidikan tersebut tidak memberikan trauma pada diri anak dan dalam proses pendidikan tersebut anak merasa dihargai.

J. Konsep Mendidik Anak dengan Cinta dalam Pemikiran Irawati Istadi

Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, menyatakan bahwa mendidik anak dengan cinta merupakan pola mendidik anak yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, juga meletakkan cinta dan kasih sayang

orangtua sebagai modal utama dalam membesarkan, merawat, dan membimbing buah hatinya.[91] Menurut Irawati Istadi, mengatakan bahwa anak ibarat kertas putih bersih. Orangtuanyalah  yang akan  menuliskan tinta  di atasnya, baik itu tinta merah, hijau, maupun jingga. Orangtua kerap terlalu cepat memvonis anaknya dengan predikat nakal, malas, bandel, atau bahkan durhaka. Padahal, orangtua adalah orang yang paling dominan membentuk karakter dan kepribadian anak-anaknya. Karenanya, bukankah orangtuanyalah yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas sifat-sifat buruk itu?95
Seperti yang dikatakan Irawati Istadi sebelumnya, dalam mendidik anak orangtua hendaknya mendidik anaknya dengan rasa cinta. Irawati Istadi mengatakan bahwa pada dasarnya Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada diri setiap hamba terhadap istri, anak-anak, serta maupun harta benda dunia. Karenanya, sebagai hamba-Nya kita diperintahkanlah untuk selalu berhati-hati menjaga cinta tersebut agar tetap berada dalam koridor kecintaan kepada Sang
Khalik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 14, yang berbunyi:
ُزُیِّ َ ل ِلن َّاِسِ ُحُبُّ  ٱلشَّ ھوََٲِتِ مَِنَ ٱلنسِّ َاَسآ ِءِءِ وَٱۡلبنَیَوۡٱلبَنِی َنَنَ وَٱۡلقنَـَٰطِیِرِ ٱۡلمُقنَطرَِةِ مَِنَ ٱلذَّ ھَِ وَٱۡلفَوۡٱلفِضَّ ِةِ وَٱۡلخَیِۡلِ ٱۡلمَُسَوَّ مَِةِ وَٱلۡأَنعَـَٰوٱۡ َلأۡن َعٰـِمِمِ وَٱۡلحَرِۡثِ ۗ ذَٲلَِ مَتـَُٰعُ ٱۡلحَیوَِٰةِ ٱلدُّ ۡنی َاَۖ َوَٱ  َّ ُ عِنَدَه ۥُ  حُسُۡنُ ٱۡلمَـ اَۡٱلَمـٔ َا ِبِبِ (١٤)
Artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta
benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” [92]

Terkait dengan ayat tersebut, maka dapat dipahami bahwa wujud dari menjaga cinta yang telah Allah SWT berikan dalam konteks ini bagi orangtua adalah dengan mendidik anak dengan cinta. Setelah peneliti mengkaji pemikiranpemikiran Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, peneliti mendapati enam bentuk mendidik anak dengan cinta dalam buku tersebut, yaitu berupa: kasih sayang, lemah lembut, komunikasi orangtua, memberikan penghargaan (rewards), menumbuhkan kemandirian, dan disiplin.
1. Kasih Sayang
Wujud kasih sayang kepada anak tidak harus memanjakannya dan menuruti semua permintaan anak. Menurut Irawati Istadi, menyatakan bahwa hubungan penuh kasih sayang tidak sama dengan sikap serba boleh. Bukan kasih sayang namanya jika setiap permintaan anak dituruti. Guru dan orangtua tetap diwajibkan mengajari anak-anaknya tentang yang benar dan yang salah, antara yang baik dan buruk.[93] Dalam hal kasih sayang, orangtua juga hendaknya memberikan teguran kepada anak ketika anak tersebut melakukan hal yang dianggap tidak baik, namun teguran itu tidak bersifat berlebihan. Di samping pemberian teguran juga hendaknya diseimbangkan dengan pujian agar teguran tersebut tidak dirasa berlebihan bagi si anak. Sebagaimana yang dikatakan Irawati bahwa, “omelan dan pujian perlu seimbang agar omelan tidak dirasa berlebihan di mata anak”.[94]  
Lebih lanjut, Irawati Istadi mengatakan bahwa di dalam mendidik dengan kasih sayang, orangtua pun hendaknya tidak mengesampingkan pemberian hukuman dan aturan kepada anak. Penerapan aturan keras, bahkan hukuman, boleh-boleh saja diberikan kepada anak-anak. Namun, harus diimbangi dengan sentuhan kasih sayang yang lebih banyak. Dengan cara itu, timbangan kebahagiaan menjadi  lebih berat. Sehingga terjalin hubungan yang terbuka dan mesra antara orangtua dengan anak-anaknya. Penuh kasih sayang, kelembutan, dan canda tawa.99 
“Ibu sangat kecewa kamu membolos dari TPA hanya karena diajak teman bermain play station! Mau jadi apa kamu nanti jika kegemaranmu yang buruk itu tidak segera kamu hentikan?!” Kalimat ini diucapkan ibu dengan wajah yang menunjukkan kekecewaan dan kemarahan. Atau, seperti seorang ayah yang berdiri berkecak pinggang dengan raut muka kesal menyambut anak gadisnya yang pulang terlambat lewat pintu belakang. “Ayah sangat tidak senang kamu pulang terlambat, apalagi diantar teman pria seperti itu. Ayah sangat kecewa!”.[95]
Kedua adegan di atas sudah dapat menggambarkan dengan jelas apa yang dirasakan oleh ayah dan ibu. Tujuannya agar anak mengerti perasaan

orangtua tentang perilaku anak yang buruk itu. Di sisi lain, harapkan dalam diri anak muncul perasaan bersalah dan tidak enak menghadapi kemarahan orangtuanya. Namun, menurut Irawati Istadi, kemarahan itu cukup dinyatakan sekali saja, anak sudah bisa memahami perasaan orangtuanya. Bila pernyataan ini diulang-ulang, justru akan menimbulkan kebosanan dan anak merasa digurui. Cara mendisiplinkan anak seperti itu tidak efektif dan efisien.[96]
Setelah menegur perilaku anak, orangtua hendaknya mendiamkan dirinya sejenak agar suasana yang tidak enak tersebut benar-benar dirasakan anak. Kemudian, manfaatkan waktu tersebut untuk menarik napas, seakan telah usai menyelesaikan tugas berat berupa pengungkapan rasa kecewa atas perilaku anak yang buruk. Setelah dirasa cukup, maka bagian berikutnya adalah saatnya menggunakan kebenaran lain selain kebenaran pertama yang telah dikatakan terlebih dahulu. Kebenaran yang kedua ini adalah bahwa diri anak-anak sebagai “pelaku” sebenarnya tetap baik, bahwa orangtua tetap mencintai sepenuh hati karena mereka pada dasarnya adalah anak-anak yang shalih. Bagian kedua ini harus diucapkan orangtua dengan ekspresi wajah penuh kasih sayang dan kelembutan. Bila perlu dengan memeluk dan mencium agar anak bisa langsung merasakan bahwa bagaimana pun buruknya perilaku mereka, ternyata orangtua tetap mencintainya. Pernyataan ini pun juga tidak perlu diulang, cukup sekali saja. Menurut Irawati Istadi, cara seperti
ini sangatlah efektif, karena anak akan segera menemukan kembali citra dirinya sebagai anak yang baik. Mereka sangat menikmati belaian kasih orangtua dalam selang waktu yang singkat ini. Mereka menjadi senang dan bangga terhadap dirinya yang baik seperti kata orangtuanya. Satu hal penting yang tak boleh dilupakan orangtua adalah bahwa semakin anak menyenangi dirinya sendiri, semakin besar kemauannya untuk berperilaku lebih baik.[97]
Irawati pun menambahkan di dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, dimana ada seorang ibu bertanya, “Bukankah Islam juga menganjurkan hukuman?” tanya ibu tersebut. Untuk memperkuat pendapatnya, ia merujuk pada sebuah hadits yang membolehkan orangtua memukul anaknya yang telah berusia 10 tahun, tetapi malas menjalankan shalat. Hadits tersebut berbunyi, “Suruhlah anak-anak kamu shalat jika mereka sudah berusia 7 tahun. Dan jika mereka sudah berusia 10 tahun, maka pukullah jika mereka tidak mau melaksanakan shalat,” kata ibu tersebut mengutip sabda perkataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.[98]
Perkataan ibu tersebut benar, namun hendaknya dipahami bahwa justru dalam nasihat Rasulullah SAW itulah terkandung cara mendidik anak yang dilandasi kasih sayang, dan menomorduakan hukuman. Bukankah beliau terlebih dahulu menyuruh membiasakan anak mengerjakan shalat mulai usia 7 tahun?. Kalaupun 3 tahun setelah itu ternyata mereka belum juga shalat, maka sangat wajar jika diberi hukuman. Bukankah waktu 3 tahun sudah cukup panjang untuk mendidik anak menjalankan shalat. Sekali lagi, proses pembiasaannya memakan waktu 3 tahun.[99] Jadi, dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menganjurkan memukul anak malas shalat yang belum pernah diajari dan dibiasakan terlebih dahulu oleh orangtuanya. Ini sama artinya bahwa Islam mengajarkan kepada orangtua agar memberikan pengertian, pemahaman, dan pembiasaan dalam rentang waktu yang cukup dengan penuh kasih sayang.
Tidak hanya itu saja, Irawati pun mengatakan bahwa dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan bahwa pernah suatu saat beliau mencium cucunya Hasan bin Ali. Ketika itu, duduk di sisi beliau Aqra bin Habis Attamimi. Ia berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai 10 orang anak, tetapi tak satu pun dari mereka yang pernah aku cium”. Mendengar itu, Rasulullah SAW memandangnya seraya berkata, “Barang siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi”.[100]
Begitu banyak teladan kasih sayang yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya terkait anak-anak. Hal ini membuktikan bahwa cara terbaik dalam menjaga keharmonisan hubungan orangtua dan anak adalah dengan kata-kata manis, pelukan, ciuman, dan sentuhan-sentuhan fisik lainnya yang mengekspresikan kasih sayang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk kasih sayang dalam mendidik anak menurut Irawati Istadi adalah bagaimana sikap orangtua dalam memberikan pengertian, pemahaman, dan pembiasaan kepada anak ditunjang dengan kata-kata manis, pelukan, ciuman, dan sentuhan fisik lainnya, sehingga anak dapat merasakan cinta dari orangtuanya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat simpulkan bahwa dalam penerapan kasih sayang, orangtua tidak serta merta harus  menuruti kehendak anak. Bentuk kasih sayang yang seharusnya orangtua berikan yaitu dengan cara mengajarkan anaknya tentang hal yang baik dan buruk, benar dan salah, dengan pelukan, ciuman, dan sentuhan-sentuhan hangat lainnya. Adapun jika anak melakukan kesalahan, maka orangtua tetap harus memberikan teguran dan hukuman. Akan tetapi, teguran dan hukuman tersebut tetap  harus diimbangi dengan sentuhan kasih sayang yang lebih banyak, sehingga hal tersebut tidak malah membuat anak menjadi tidak patuh dan melawan terhadap perintah dan aturan orangtua.
2. Lemah Lembut
Dalam bukunya Mendidik dengan Cinta Irawati Istadi menceritakan, bahwa suatu ketika, Andri baru saja selesai bermain mobil-mobilan dengan dua temannya. Dia pun dengan santai melangkah hendak pergi meninggalkan dua belas mobil-mobilannya yang masih berserakan di ruang tengah.
Kemudian dengan spontan ibu Andri menegur:
“Andri, bereskan dulu mainanmu.”
“Nanti saja Bu!” jawab Andri santai.
“Andri, kembali! Rapikan dulu ruang tengah! Dasar bandel. Bisanya membantah saja,” kata ibu dengan nada tinggi.
“Nanti Bu, aku sudah ditunggu teman-teman di luar,” jelas Andri jengkel.
                                        “Berapa    puluh    kali    harus    ibu    katakan,    kamu    harus
membereskan mainanmu sendiri. Dasar anak malas!” sergah ibu.[101]

Percakapan di atas menggambarkan bagaimana sikap keras dan kasar seorang ibu dalam mendidik anaknya. Karena sikap ibu yang emosional dan perkataannya yang kasar, anak tersebut bukannya patuh, akan tetapi justru semakin membencinya. Menurut Irawati Istadi, mengatakan bahwa perkataan kasar dan pemberian hukuman adalah hal yang tidak diinginkan oleh semua orang meski menurut orangtua semua itu demi kebaikan mereka. Yang dirasakan anak hanyalah bahwa kemarahan itu menjadi bukti ketidaksenangan orangtua terhadap anaknya. Maka, satu kunci paling ampuh dalam ilmu mendidik anak adalah dengan berlaku lemah lembut penuh cinta kasih. Dan kalaupun harus marah, maka marahlah dalam batas yang masih dibenarkan oleh agama.[102]
Lebih lanjut, Irawati Istadi mengatakan bahwa pada percakapan di atas, yang seharusnya dilakukan oleh ibu tersebut adalah keluar menemui teman-teman Andri dan meminta dengan lembut untuk menunggu sebentar, kemudian menggandeng Andri di ruang tengah sambil berkata, “Yuk ibu temani kamu membereskan mainan. Kamu kan biasanya menyukai rumah yang bersih dan rapih”. Menurut Irawati Istadi, mengatakan bahwa orangtua tidak perlu menjelek-jelekkan anak dengan tuduhan malas dan bandel. Bicaralah dengan lemah lembut dan tenang sambil tetap memberi senyuman.[103]
Irawati Istadi pun menambahkan bahwa kasarnya kata-kata dan kebiasaan marah bisa dikarenakan orangtua tidak mampu menahan emosi. Padahal, ketika berada dalam kondisi jiwa yang stabil, tidak terlalu sulit untuk bisa bersabar dan berlemah lembut.[104] Karakter dasar yang keras, kasar, dan emosional tersebut bisa jadi akan merusak pola pendidikan anak. Itu sebabnya, terhadap dirinya sendiri, para orangtua sebaiknya bermuhasabah, melakukan introspeksi, dan berusaha mengubah karakter kasar yang merugikan tadi sebelum menularkannya kepada anak-anak.[105]
Dari beberapa pemikiran Irawati Istadi di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk lemah lembut dalam mendidik anak adalah bagaimana sikap orangtua dalam mendidik tanpa berkata keras dan kasar ketika anak melakukan suatu kesalahan. Orangtua hendaknya menegur perilaku anak dengan suara yang rendah dan tenang sambil memberikan nasihat yang baik bagi anak tersebut. 
Maka dari itu, peneliti dapat simpulkan bahwa dalam mendidik anak seorang pendidik atau orangtua hendaknya berlaku lemah lembut terhadap

          anak.    Lemah    lembut    yang    dimaksud    adalah    orangtua    harus    bisa
mengendalikan emosi, bersabar, dan tidak diperbolehkan bersikap keras dan kasar terhadap anak. Dan kalaupun harus marah karena suatu kesalahan anak, maka marahlah dengan cara yang baik tanpa menyakiti perasaan anak, dikarenakan sikap tersebut lebih efektif dalam mendidik anak untuk patuh kepada orangtuanya.  
3. Komunikasi Orangtua
Membangun komunikasi antara orangtua dan anaknya merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk menjalin hubungan antara keduanya. Selain itu komunikasi yang baik antara orangtua dan anaknya akan membuat anak semakin dekat dengan orangtuanya. Anak akan merasa aman untuk menceritakan semua ketakutan yang ia alami karena ia merasa ada yang dapat memahaminya. Sebalikanya orang tua yang tidak memiliki komunikasi yang baik dengan anaknya akan sulit untuk memahami dan mengetahui isi hati anaknya. Karena umumnya rengekan yang keluar dari bibir anak yang sedang bermasalah belum tentu merupakan isi hatinya.[106] Untuk itu, diperlukan keahlian khusus untuk bisa menebak isi hati mereka. Sebagaimana yang dikatakan Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta bahwa keterampilan untuk mengetahui isi hati anak yang sebenarnya, akan mudah dipelajari jika orangtua peka terhadap kebiasaan anak, terutama pola
komunikasi verbalnya. Kepekaan ini lebih mudah lagi tumbuh pada orangtua yang kuantitas dan kualitas kebersamaannya cukup besar bersama anakanaknya.[107]
Banyak cara untuk mengetahui perasaan anak, salah satunya melalui dialog. Menurut Irawati Istadi, mengatakan bahwa komentar bernada empati
(memahami perasaan orang lain) dapat dicoba, misalnya:
“Lututmu terasa sakit?”
“Keras betul tangisanmu, masih kaget, ya, gara-gara terjatuh tadi?”
“Lututmu sedikit mengeluarkan darah. Kamu takut melihat darah? Nggak usah khawatir. Setelah diberi obat, insya Allah darahnya akan berhenti.”113

Contoh lainnya, yaitu ketika anak pulang dari sekolah dengan wajah murung tanpa diketahui penyebabnya, ibu bisa memancing percakapan dengan memilih beberapa alternatif komentar empati, seperti “Adakah teman yang membuat perasaanmu jengkel?” Atau, “Adakah sesuatu tak
menyenangkan yang dilakukan gurumu?” Atau, “Sulitkah pelajaran hari ini?”. Menurut Irawati Istadi, menebaknya satu demi satu tak mengapa dilakukan,
          asal      tidak      terkesan      memaksa      anak      menjawab      atau      seperti
menginterogasinya.114
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa bentuk komunikasi yang dimaksud adalah bagaimana orangtua dapat mengetahui perasaan anak dengan cara menjalin percakapan antara orangtua dan anak. Dalam menyampaikan pernyataan kepada anak, orangtua hendaknya berkata dengan nada berempati kepada anak agar hal tersebut tidak terkesan seperti menginterogasinya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat simpulkan bahwa komunikasi orangtua terhadap anak sangatlah penting, dikarenakan dengan berkomunikasi orangtua dapat mengetahui isi hati anak atau apa yang diinginkan anak tersebut. Sebaliknya, dengan terbiasa berkomunikasi anak akan lebih mudah menyampaikan apa yang ada dipikiran dan hatinya tanpa ada rasa canggung sedikitpun kepada orangtua. Dan yang terpenting adalah berkomunikasi dengan anak haruslah dengan perkataan yang mudah dimengerti, bernada lunak, indah, menyenangkan, halus, dan memberikan rasa optimis bagi anak, sehingga komunikasi tersebut dapat mempererat hubungan antara orangtua dan anak.
4. Memberikan Penghargaan (Rewards)
Sebagaimana yang dikatakan Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta bahwa barang bukanlah alternatif bentuk hadiah terbaik untuk anak. Jadi, bisa berupa perhatian, pujian, atau bentuk-bentuk kasih sayang lainnya seperti belaian, pelukan, ciuman, dan sebagainya. Jangan khawatir jika anak ketagihan mendapat hadiah seperti ini. Karena, semakin banyak hadiah-hadiah ini diberikan orangtua, semakin mendukung pula terbentuknya kepribadian positif dan percaya diri yang mantap pada diri anak.[108]
                                       
Irawati pun menambahkan bahwa model hadiah dapat disesuaikan dengan tingkat usia anak. Mereka yang masih kecil akan lebih menyukai hadiah berbentuk kontak fisik seperti pelukan dan ciuman. Sementara yang duduk di bangku sekolah dasar, lebih tepat diberi banyak pujian, perhatian, dan komunikasi aktif. Ada orangtua yang kurang yakin keefektifan hadiah non-barang ini karena menganggapnya sebagai satu hal yang remeh. Padahal sebenarnya, setiap anak merindukan pujian dan penghargaan yang tiada habishabisnya. Bahkan, ini adalah salah satu kebutuhan esensial mereka, yang kelak sangat menentukan besar tidaknya kepercayaan dirinya.[109]
Menurut Irawati Istadi, salah satu contohnya adalah hadiah bintang prestasi. Misalnya, bagi mereka yang tidak mengerti maksud dan tujuannya akan tampak sebagai satu hal yang lucu. Orangtua akan memberikan hadiah bintang yang ditempel di dinding kamar anak, manakala anak berhasil melakukan suatu perbuatan baik yang diharapkan. Sekilas memang tampak lucu karena dinding kamar anak bisa jadi dipenuhi tempelan bintang dari kertas warna-warni. Namun, yang tertangkap dalam pikiran anak adalah kebanggaan karena perhatian dan pujian orangtua baginya.[110]
Adapun jika hadiah tersebut berupa barang, maka menurut Irawati
Istadi ada dua hal yang orangtua perlu perhatikan, antara lain:

1)   Nilainya, bukan harganya
Menurut Irawati Istadi, mengatakan bahwa jika orangtua memberikan hadiah barang, maka jangan menekankan kepada anak tentang mahal tidaknya barang tersebut. Sebaliknya, yang harus lebih ditekankan kepada mereka adalah manfaatnya. Pilih barang-barang yang edukatif, misalnya sebatang pensil yang menarik, meski dengan harga yang tidak seberapa namun akan memacu semangat belajar anak jika diberikan dengan cara yang pas. Rancang peristiwa pemberian hadiah tersebut menjadi istimewa. Dengan dibungkus berbentuk permen, pita, bola, atau kipas dengan kertas kado aneka warna, akan membuat mereka merasa mendapat surprise. Berikan pula dengan cara yang istimewa, misalnya secara kejutan, atau dengan terus-menerus memuji keistimewaan hadiah tersebut. Maka, biarpun pensil hadiah hanya seharga lima ratus rupiah, bagi anak sudah sangat membanggakan. Sungguh, anak tidak akan peduli tentang harga barang, kecuali jika diajarkan seperti itu oleh orangtuanya.[111]
2)   Barang yang dibutuhkan
Irawati Istadi mengatakan bahwa teliti kembali kebutuhan apa yang sedang mendesak bagi anak. Mungkin kebutuhan pribadi, kebutuhan bermain, ataupun kebutuhan sekolahnya. Barang-barang ini sangat tepat untuk dijanjikan sebagai hadiah. Kenapa? Karena nantinya orangtua tetap harus
membelikannya walaupun bukan sebagai hadiah. Misalnya, mungkin
                                       

sepatu mereka sudah kesempitan, kotak pensil sudah rusak,pensil warna hilang, atau sudah berbulan-bulan tidak membeli mainan. Karenanya, sangat perlu bagi orangtua untuk merencanakan jauh-jauh hari terkait pemberian hadiah ini supaya bisa lebih hemat dan efektif.[112]
                            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan           bahwa     memberikan
penghargaan (rewards) kepada anak tidak hanya berupa barang saja, orangtua dapat memberikan pujian, pelukan, senyuman, dan perhatian lainnya untuk menunjukkan perasaan cinta orangtua tersebut, dan juga untuk menarik cinta dari si anak. Sehingga, diharapkan hal tersebut dapat menumbuhkan semangat anak dalam melakukakan kebaikan. Adapun bentuk penghargaan tersebut dapat disesuaikan dengan tingkat usia anak tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam mendidik anak, selain orangtua mengarahkan tumbuhkembang anak sesuai dengan apa yang diinginkan, orangtua juga harus memberikan penghargaan (rewards) kepada anak sebagai sebuah balasan dari orangtua disaat anak tersebut dapat melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orangtuanya. Bentuk penghargaan yang hendak diberikan tersebut tidak hanya berupa barang, melainkan dapat berupa pujian, perhatian, dan kasih sayang dalam bentuk lainnya sehingga anak semakin termotivasi untuk melakukan suatu hal yang positif. Adapun jika hadiah tersebut berupa barang, maka orangtua harus lebih memperhatikan pada sisi nilainya bukan harga barangnya dan barang tersebut merupakan barang yang memang dibutuhkan oleh anak.
5. Menumbuhkan Kemandirian
Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, menceritakan bahwa suatu kali, ketika ibu sedang sibuk menyetrika baju, Nizar asyik bermain mobil-mobilan yang bisa digerak-gerakkan hanya dengan menggunakan remote control. Karena baterainya mulai habis, kecepatan mobil-mobilannya pun semakin berkurang. Tak lama kemudian, mainan itu benar-benar tak bisa bergerak. Nizar yang sedang asyik dengan khayalannya menjadi jengkel karena tidak bisa meneruskan permainannya. Lalu, dengan setengah merajuk Nizar merengek dan berkata:[113]  
“Bu…., perbaiki mainan Nizar dong! Tidak bisa jalan nih.”
Ibu menoleh kepada anaknya tanpa menghentikan pekerjaannya dan berkata, “Oh, baterainya habis. Ya harus dibelikan baterai baru.”
Nizar pun cepat menyahut, “Ya, ayo belikan, Bu. Belikan sekarang….”
Ibu menyahut dengan tenang, “Di dekat sini tidak ada toko yang menjual baterai. Sekarang, beri tali saja mobilmu itu supaya kau bisa menariknya kemana-mana.”
Nizar menyahut tak sabar, “Ya, ya pakai tali. Ayo, Bu, pasang talinya!”
Sambil terus melanjutkan pekerjaannya, ibu berkata, “Ibu masih sibuk. Kamu bisa cari sendiri tali itu di dalam laci bufet yang paling bawah. Ayo, cari sendiri anak pandai….”
Nizar bangkit mencari tali yang dimaksud dan kembali merengek setelah menemukannya, “Ayo, pasangkan talinya, Bu….”
Sekali lagi, ibu hanya menoleh dan berkata, “Coba dilihat dulu, di mana enaknya tali itu akan kamu pasang.”
Nizar membalik mainannya, mencari-cari tempat untuk mengaitkan talinya. Sebentar kemudian ia berteriak gembira, “Nah, ini Bu. Di antara dua roda depan ini!”
Ibu tersenyum dan member semangat anaknya untuk terus berusaha, “Nah, masukkan perlahan-lahan ujung tali kelubang itu. Ya, benar begitu. Kemudian, ikat talinya dan potong sisa tali yang terlalu panjang.”
Nizar pun mengikuti petunjuk ibunya. Akhirnya, ia berhasil memasang tali tersebut sehingga ia bisa menarik mobil-mobilan itu kemana ia suka.[114]

Dalam percakapan di atas, Irawati Istadi menyatakan bahwa ibu Nizar telah melakukan sesuatu yang amat berharga bagi anaknya, juga buat dirinya sendiri. Ia telah mendidik anaknya menjadi dirinya sendiri sehingga si anak kelak  akan selalu berusaha memperbaiki dirinya sendiri tanpa memerlukan orang lain.[115]
Menurut Irawati Istadi, dalam hal kemandirian anak, anak perlu dilatih menyelesaikan permasalahannya sendiri, sejauh mereka mampu. Banyak orangtua yang belum percaya pada kemampuan anak-anaknya. Mereka belum rela melepaskan anaknya untuk menemukan sendiri jalan keluar berbagai masalah anaknya. Padahal, Allah SWT telah memberikan karunia berupa intuisi yang sangat hebat kepada setiap manusia termasuk anak sehingga tidak mustahil jika dengan intuisinya mereka dapat memecahkan berbagai masalahnya sendiri. Melalui ini, justru mereka dapat mengasah intuisinya secara lebih tajam.[116]
Irawati pun menambahkan bahwa beberapa kemampuan yang sudah dimiliki seorang anak yaitu salah satunya kemampuan anak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Kebanyakan orangtua ikut campur dalam menyelesaikan masalah anaknya secara membabi buta, menyodorkan penyelesaian masalah yang sudah tersusun rapi. Akhirnya, orangtua akan mendapati anaknya tumbuh menjadi sangat bergantung pada bantuan orangtuanya dan gagal mengembangkan kemampuannya sendiri. Dan mereka akan selalu datang kepada orangtuanya setiap kali menemukan masalah yang baru.[117]
Dari beberapa pemikiran Irawati Istadi di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk dari ekspresi cinta dalam hal mendidik berupa menumbuhkan kemandirian pada anak adalah suatu usaha orang tua dalam melatih, membimbing, dan mengembangkan intuisi anak dalam menyelesaikan dan mencari jalan keluar pada masalahnya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orangtua maupun orang lain. Tujuannya adalah agar nantinya anak tersebut dapat hidup mandiri dan tidak terbiasa bergantung kepada orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat peneliti simpulkan bahwa dalam mendidik anak, orangtua harus berani menumbuhkembangkan kemandirian dalam diri anak. Anak harus dibimbing agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa selalu bergantung kepada orangtua. Dengan tumbuhnya kemandirian anak dalam menyelesaikan suatu masalah, maka orangtua tidak akan perlu merasa khawatir lagi jika anak tersebut dikemudian hari menghadapi suatu masalah ketika jauh dari orangtuanya karena anak sudah terbiasa hidup mandiri.
6. Disiplin
Berbicara masalah pendidikan disiplin, jangan semata membayangkan bagaimana orangtua membuat peraturan dan tata tertib beserta segala sanksinya. Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, menyatakan bahwa sesungguhnya hakikat dari disiplin adalah keteraturan yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Cakupannya begitu luas, dan seluas itu pulalah yang harus diperkenalkan kepada anak-anak semenjak
dini.[118]
Menurut Irawati Istadi, disiplin dapat mulai dilatih dari pola tidur. Sebagai contoh bayi, ia belum bisa membedakan siang dan malam. Mereka tidur dan bangun kapan mereka suka. Karenanya, menjadi tugas orangtualah untuk membentuk kebiasaan mereka. Jangan biasakan mereka bangun terlalu lama di malam hari karena akan merugikan orangtua dan dirinya sendiri. Bangunkan mereka dengan mengajaknya bercanda atau jalan-jalan di siang hari, hingga ketika tiba saat malam mereka telah mengantuk.[119]
Lebih lanjut, pada penerapan disiplin Irawati Istadi dalam bukunya membagi atas enam tahap, yaitu:[120]
1)   Usia 1-2 tahun
Pada tahap ini yang hendaknya dilakukan oleh orangtua, antara lain:
a)    Pelatihan buang air kecil bisa diupayakan dengan mengajak anak kencing di kamar mandi pada jam-jam yang rutin tiap harinya, seperti bangun tidur, pulang dari berpergian, menjelang tidur, dan sebagainya.
b)   Sementara buang air besar umumnya mulai dilatih sekitar usia 2 tahun.
c)    Disiplin dalam hal pengaturan jadwal makan juga bisa diterapkan. Ibu bisa memilih jadwal makan terbaik sesuai kebiasaan anak-anak. Dua kali sehari, pukul delapan pagi dan empat sore, adalah jadwal yang umum dipakai kebanyakan orangtua.
d)   Jadwal tidur dan jadwal bermain yang sudah didisiplinkan, bahkan sebelum usia satu tahun akan terus mengalami perkembangan sesuai tingkatan usia. Cermati jadwal kegiatan anak sehari-hari, pilihkan waktu tidur terbaik untuk mereka, juga seberapa lama mereka butuh tidur, agar ketika bangun kondisi mereka menjadi segar dan siap untuk bermain kembali.
e)    Disiplin ringan seperti selalu mengenakan sandal jika bermain di luar rumah, bisa dimulai di usia sekitar dua tahun ini.

f)    Bimbingan untuk mendahulukan anggota kanan bisa dilakukan walaupun hasilnya baru akan tampak pada tahun-tahun berikutnya.
2)   Usia 2-3 tahun
Pada tahap ini yang hendaknya dilakukan oleh orangtua, antara lain:[121]
a)    Disiplin toilet training bisa semakin ditingkatkan. Di usia dua setengah tahun, umumnya anak telah menyelesaikan keterampilan ini, dan selanjutnya dengan pandai mereka akan lapor terlebih dahulu jika ingin buang air kecil dan besar.
b)   Menggosok gigi setidaknya dua kali sehari, di pagi dan malam hari, dapat dimulai pada rentang usia ini.
c)    Mengembalikan mainan ke tempatnya bisa mulai diajarkan. Untuk mainan yang berbentuk besar, seperti boneka dan mobil-mobilan, beri tempat menyimpan yang mudah sehingga anak tinggal meletakkannya
saja.
d)   Menjelang usia 3 tahun rata-rata anak telah mulai pandai mengucapkan satu dua kalimat pendek. Maka pembiasaan mengucapkan salam ketika masuk dan keluar rumah bisa dimulai.
e)    Begitu juga pembiasaan untuk mengucapkan terima kasih jika mendapatkan bantuan dari orang lain.


                                       
3)   Usia 3-4 tahun
Pada tahap ini yang hendaknya dilakukan oleh orangtua, antara lain:[122]
a)    Keahlian anak untuk membereskan mainan sudah meningkat. Mainan kecil-kecil seperti bongkar pasang atau Lego sudah bisa mereka letakkan kembali di tempatnya, asalkan tempatnya tidak terlalu rumit dan mudah dijangkau.
b)   Disiplin membuang sampah pada tempatnya, juga mengembalikan handuk ke tempat semula seusai mandi. Tentu saja perlu disediakan tempat handuk yang rendah dan tidak mempersulit mereka.
c)    Mereka juga bisa meletakkan pakaian kotor ke tempat cucian ketika pergi mandi.
d)   Meletakkan sepatu ke tempatnya ketika pulang bepergian.
e)    Mandi sesuai jadwal di pagi dan sore hari.
f)    Disiplin menggosok gigi di usia ini masih tetap membutuhkan bimbingan.
g)   Pembiasaan berdoa sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan ketika bangun tidur, sudah bisa dilakukan.
h)   Anak juga sudah mulai bisa ke warung sendiri untuk jajan. Karenanya, hal ini juga perlu didisiplinkan. Misalnya dengan membuatkan jadwal jajan untuk anak, dua kali sehari, pagi dan sore hari, masing-masing sebesar lima ribu rupiah. Jadwal jajan ini bisa sangat berbeda antar anak, tergantung bagaimana pengaruh lingkungan bermain mereka.
4)   Usia 4-5 tahun
Pada tahap ini yang hendaknya dilakukan oleh orangtua, antara lain:[123]
a)    Menyiapkan sendiri keperluan-keperluan sekolah, jika anak sudah masuk TK. Memasukkan bekal makan dan minumnya sendiri ke dalam
tas
b)   Kemampuannya untuk membereskan mainan sudah semakin baik
sehingga mereka dapat melakukannya sendiri setiap hari.
c)    Jadwal makan upayakan yang teratur, yakni di pagi, siang, dan malam hari walaupun belum bisa duduk di sekitar meja makan. Bisa sambil berpindah-pindah dan berjalan-jalan.
d)   Tanggung jawab ringan membantu ibu dan ayah baik untuk mereka, seperti membuang sampah dari rumah ke pembuangan sampah di depan rumah setiap hari; menjaga adik ketika ibu mandi atau shalat; menyemir sepatu ayah tiap pagi; mengambilkan koran di halaman tiap pagi; menyiram rumput tiap sore; dan lain sebagainya. Pilihkan tanggung jawab yang mereka sukai, biarkan mereka mengerjakannya meski sambil bermain-main.



5)   Usia 5-6 tahun
Pada tahap ini hendaknya yang dilakukan oleh orangtua, antara lain:[124]
a)    Pengenalan jadwal belajar bisa dimulai meski hanya sepuluh menit setiap malam hari.
b)   Tidur siang baik untuk kesehatan dan vitalitas anak. Jadwal tidur malam hari sebaiknya tak lebih dari pukul delapan malam.
c)    Bangun di waktu subuh baik untuk memulai kebiasaan shalat Subuh. Shalat Maghrib bisa berjamaah, atau ditambahkan dengan shalat Isya. Adapun untuk shalat Dzuhur dan Ashar umumnya masih terlalu sulit.
d)   Upayakan peningkatan dalam pemberian tanggung jawab ringan kepada anak dalam membantu orangtua.
6)   Usia 6-7 tahun
Pada tahap ini hendaknya yang dilakukan oleh orangtua, antara lain:[125]
a)    Rutinitas jam belajar di malam hari, semisal satu jam tiap hari. Walaupun tak ada pekerjaan rumah, manfaatkan untuk mengulang pelajaran di sekolah. Jadwal mengaji diberikan sesuai kemampuan anak, usai shalat Maghrib atau di sore hari.
b)   Shalat lima waktu mulai dibiasakan walaupun dengan toleransi yang masih longgar. Tertinggal satu waktu setiap hari bagi anak-anak dengan lingkungan bermain yang kurang mendukung masih bisa dimaklumi.
Terkait tanggung jawab membantu ibu dan ayah, biarkan mereka pilih sendiri, apakah membersihkan kaca, menyapu, mencuci piring, ataupun yang lainnya.
c)    Beri mereka tanggung jawab untuk memelihara barang sendiri. Misalnya: mencuci sendiri tas, sepatu, sepeda, atau mainan-mainan mereka setiap hari Ahad.
d)   Jika memiliki televisi, rundingkan bersama acara apa saja yang boleh mereka saksikan. Jika saatnya mereka tak boleh menonton, maka konsekuensinya televise harus dimatikan. Orangtua juga tidak boleh menontonnya, kecuali jika anak-anak tidur.
Dari beberapa pemikirian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan disiplin sebagai bentuk dari ekspresi dari mendidik dengan cinta adalah suatu upaya yang mencakup pengajaran, bimbingan atau dorongan yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya sejak sedini mungkin, yang bertujuan untuk menolong anak belajar untuk hidup sebagai makhluk sosial dan untuk mencapai pertumbuhan serta perkembangan mereka secara optimal.  
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dalam mendidik anak, orangtua hendaknya menanamkan nilai disiplin terhadap anak bahkan sejak dini mungkin, yaitu ketika anak masih bayi sampai anak  berusia tujuh tahun sebagaimana yang telah disampaikan oleh Irawati Istadi. Adapun penanaman disiplin yang dimaksud adalah bagaimana orangtua membimbing anak untuk dapat mematuhi segala aturan atau tata tertib yang telah dibuat sehingga anak tersebut dapat diterima baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Manfaat dari penanaman disiplin tersebut bagi anak yaitu dapat menumbuhkan kepedulian sosial bagi anak dan sebagai bekal anak dalam menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di lingkungan sekitarnya nanti.
  

RELEVANSI ANTARA KONSEP MENDIDIK ANAK DENGAN CINTA PEMIKIRAN IRAWATI ISTADI DENGAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM



K. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Kasih Sayang

Jika dilihat dari konsep mendidik anak dengan cinta yang terdapat pada pemikiran Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta dan dihubungkan dengan konsep pendidikan Islam, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa pemikiran Irawati Istadi tersebut sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Hal ini di dasari pada pola mendidik anak dengan kasih sayang yang didapatkan oleh Irawati Istadi dari sebuah riwayat hadits, yaitu bagaimana sikap yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad  SAW ketika mendidik anak. 
Irawati Istadi mengatakan di dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, dimana ada seorang ibu bertanya, “Bukankah Islam juga menganjurkan hukuman?” tanya ibu tersebut. Untuk memperkuat pendapatnya, ia merujuk pada sebuah hadits yang membolehkan orangtua memukul anaknya yang telah berusia 10 tahun, tetapi malas menjalankan shalat. Hadits tersebut berbunyi, “Suruhlah anak-anak kamu shalat jika mereka sudah berusia 7 tahun. Dan jika mereka sudah berusia 10 tahun, maka pukullah jika mereka tidak mau melaksanakan shalat,” kata ibu tersebut mengutip sabda perkataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.[126]
Menurut Irawati Istadi, perkataan ibu tersebut benar namun hendaknya dipahami bahwa justru dalam nasihat Rasulullah SAW itulah terkandung cara mendidik anak yang dilandasi kasih sayang, dan menomorduakan hukuman. Bukankah beliau terlebih dahulu menyuruh membiasakan anak mengerjakan shalat mulai usia 7 tahun?. Kalaupun 3 tahun setelah itu ternyata mereka belum juga shalat, maka sangat wajar jika diberi hukuman. Bukankah waktu 3 tahun sudah cukup panjang untuk mendidik anak menjalankan shalat. Sekali lagi, proses pembiasaannya memakan waktu 3 tahun.134 
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa dalam konsep pendidikan Islam, Rasulullah SAW sama sekali tidak menganjurkan memukul anak malas shalat yang belum pernah diajari dan dibiasakan terlebih dahulu oleh orangtuanya. Ini sama artinya bahwa Islam mengajarkan kepada orangtua agar memberikan pengertian, pemahaman, dan pembiasaan dalam rentang waktu yang cukup dengan penuh kasih sayang. Adapun dalam penerapan kasih sayang, orangtua tidak serta merta harus  menuruti kehendak anak. Bentuk kasih sayang yang seharusnya orangtua berikan yaitu dengan cara mengajarkan anaknya tentang hal yang baik dan buruk, benar dan salah, dengan pelukan, ciuman, dan sentuhan-sentuhan hangat lainnya. Jika anak melakukan kesalahan, maka orangtua tetap harus memberikan teguran dan hukuman. Akan tetapi, teguran dan hukuman tersebut tetap  harus diimbangi dengan sentuhan kasih sayang yang lebih banyak, sehingga hal tersebut tidak malah membuat anak menjadi tidak patuh dan melawan terhadap perintah dan aturan orangtua.
Dalam hal mendidik dengan cinta dan kasih sayang. Pemikiran Irawati
Istadi tersebut peneliti perkuat dengan salah satu hadits, yaitu sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: 
قاََلَ رَُسُول الل صلى ﷲ علیھ وسلم :  مَثَُ المُؤْمِنیَنَ في تََوَدِّ ھِْمْ وترََاحُمھْمْ
وَتعَاَط فھَعاط ُفِھ ْمْمْ ، مَثَُ الجَسَِدِ إإِ َذاَذَا اشْتََكَ مِنْھِمْنھُ عُضٌْوٌ تدََاَعَى لھَلَھُ سَائَسائِ ُرُرُ الجَسَِدِ ب ِالسَّ ھَِ
  والُحُمَّ ى  (رواه مسلم)
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling berkasih sayang adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh meraa mengaduh dengan terus jaga tidak bias tidur dan merasa panas.” (HR. Bukhari-Muslim)[127]

Hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam hal mendidik, orangtua atau pendidik hendaknya didasari dengan cinta dan kasih sayang. Dengan cinta dan kasih sayang akan terjalin hubungan yang baik antara orangtua atau pendidik dengan anak. Maka dari itu, peneliti menyimpulkan bahwa antara konsep mendidik anak dengan cinta pada pemikiran Irawati Istadi dengan konsep pendidikan Islam sangatlah sesuai, karena dalam Islam pun menganjurkan kepada orangtua untuk mendidik anak dengan rasa kasih sayang.

L. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Lemah Lembut

Berlaku lemah lembut kepada anak didik merupakan salah satu langkah serta upaya untuk mendekatkan diri dan menanamkan rasa cinta kepada anak didik. Karena, dengan perlakuan lemah lembut dapat mendekatkan seorang pendidik kepada anak didik, begitu pula sebaliknya. Mendidik anak tidak perlu dengan cara-cara yang kasar, seperti menghukum, berkata-kata keras dan kasar. Cara seperti itu tak mungkin berhasil, malah sebaliknya cara tersebut akan membuat serta menimbulkan pada diri anak didik.[128] 
Dilihat dari konsep mendidik anak dengan cinta pada pemikiran Irawati Istadi, yaitu pada pola mendidik anak dengan lemah lembut, peneliti menganggap bahwa pemikiran Irawati Istadi tersebut sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dasar pemikiran Irawati Istadi tentang mendidik anak dengan lemah lembut merujuk pada sebuah ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah SWT telah mengingatkan secara khusus kepada Nabi Muhammad SAW agar meninggalkan cara-cara kasar. Sebab, kekasaran bukan mendekatkan umat kepadanya, tetapi justru akan menjauhkan mereka darinya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali- Imron ayat 159:  
فبَفَب ِ َماَمَا ْ مٍةَرَحٍ مَِنَ  َّﷲَّ ﷲِ لنْلِْن َتَتَ لھَُْ وَلَْ كُنَْتَ فظَفَظ ًّاًا غَلیظَغلِیظَ اْلقلَْالقَل ْ ِبِبِ لانْفضُّ َوا مِْنْ حَوْلَِ فاَعُْفُ عَنْھُْ وَاسْتغَْفِْ لھلَھُ ْمُْ وَشَاوِرْھُْ فِيِ الأمِْرِ فإَفَإ ِ َذاَذَا عَزَمَْتَ فتَََكَّ ْلْ عَلَىَ  َّﷲَّ ﷲِ إإِنَّ   َّﷲَّ ﷲَ یُِبُّ   اْلمُتََكِّ لیكلِی َنَنَ (١٥٩)    
 Artinya: “Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” [129]

Menurut Irawati Istadi, ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW secara khusus dalam membina umatnya, tetapi yang perlu dipahami pembinaan disini bersifat universal bukan secara khusus. Ayat di atas juga berlaku bagi orangtua atau pendidik dalam mendidik anak-anaknya. Jika mereka ingin agar anaknya lebih mendekat, maka jalan yang semestinya ditempuh adalah mendidik buah hatinya dengan lemah lembut, tidak keras dan kasar.[130]
Selain bisa mendekatkan dan menimbulkan rasa cinta kepada anak didik, sikap lemah lembut juga dapat memberikan pemahaman serta kemudahan bagi anak didik dalam mengingat pelajaran yang diberikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Thaha ayat 44, yang berbunyi:
فق وفَقُو َلاَلَا لھَلَھُ قوًَْلًا لَینِّ ًاً لَعَللَ َعل  َّھھُ یتَََكَّ ُرُ أأ َ ْوْوْ یخَْشَٰىٰ  (٤٤)
 Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. At-Tahaa: 44)[131]

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa perkataan kasar dan pemberian hukuman adalah hal yang tidak diinginkan oleh semua anak meski menurut orangtua semua itu demi kebaikan mereka. Yang dirasakan anak hanyalah bahwa kemarahan itu menjadi bukti ketidaksenangan orangtua kepadanya. Maka, satu kunci paling ampuh dalam ilmu mendidik anak adalah dengan berlaku lemah lembut penuh cinta kasih. Dan kalaupun harus marah, maka marahlah dalam batas yang masih dibenarkan oleh agama. Karenanya, peneliti menilai bahwa konsep mendidik anak dengan cinta, yaitu dalam hal mendidik anak dengan lemah lembut yang ditawarkan oleh Irawati Istadi sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam.

M. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Berkomunikasi 

Irawati Istadi mengatakan bahwa keterampilan untuk mengetahui isi hati anak yang sebenarnya, akan mudah dipelajari jika orangtua peka terhadap kebiasaan anak, terutama pola komunikasi verbalnya. Kepekaan ini lebih mudah lagi tumbuh pada orangtua yang kuantitas dan kualitas kebersamaannya cukup besar bersama anak-anaknya. Banyak cara untuk mengetahui perasaan anak, salah satunya melalui dialog. Misalnya, ketika anak pulang dari sekolah dengan wajah murung tanpa diketahui penyebabnya, ibu bisa memancing percakapan dengan memilih beberapa alternatif komentar empati, seperti “Adakah teman yang membuat perasaanmu jengkel?” Atau, “Adakah sesuatu tak menyenangkan yang dilakukan gurumu?” Atau, “Sulitkah pelajaran hari ini?”. Menebaknya satu demi satu tak mengapa dilakukan, asal tidak terkesan memaksa anak menjawab atau seperti menginterogasinya.[132] 
Jadi, dapat dipahami bahwa guru yang mencintai dan dicintai adalah seorang pendidik yang bisa memahami kebutuhan anak didiknya dengan baik.
Karenanya, yang demikian biasanya mengedepankan dialog atau keterbukaan. Dalam hal ini, seorang pendidik berusaha untuk bisa mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan anak didiknya berikut alasan atau sebab-sebabnya. Dengan demikian, seorang pendidik bisa memahami apa yang menjadi kebutuhan anak didiknya.  
Pendidik yang tidak dapat memahami kebutuhan anak didiknya biasanya bersikap kaku dan tidak mengenal kompromi. Ia merasa sebagai orang yang paling dewasa dari seluruh anak didiknya dan oleh karenanya harus selalu diikuti keinginan, pendapatnya dan perintahnya. Pendidik yang semacam ini akan cenderung menjadi otoriter dan sudah barang tentu tidak disenangi oleh anak didiknya. Sebab, sudah menjadi sifat dasar setiap manusia akan merasa senang jika didengar dan dipahami kebutuhannya.[133]

Karenanya, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa berdialog kepada sesamanya dalam hal apapun. Allah SWT berfirman, “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Ibnu Sa’id berkomentar tentang ayat ini, “Yaitu di segala urusan yang membutuhkan pendapat orang lain, pertimbangan serta pemikiran yang matang, karena dalam isti’tsarah (meminta pendapat orang lain) terdapat kegunaan dan kebaikan, baik dalam agama maupun dunia, atau mungkin malah tak terbatas.[134]
Dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika turunnya ayat itu (bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu), Rasulullah SAW bersabda, “Allah dan RasulNya tidaklah membutuhkan itu (musyawarah), tetapi Allah menjadikan hal itu sebagai karunia untuk umatku. Barang siapa yang bermusyawarah, tidaklah hilang kepandaiannya, dan barang siapa yang tidak mau melakukannya (bermusyawarah) maka tidak hilang jualah kepintarannya.[135]
Dalam hadits di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa musyawarah adalah cenderung kepada kebenaran dan dapat menjauhkan diri dari sifat sombong. Maka dari itu, tidak ada salahnya bagi pendidik untuk berdialog dengan anak didiknya. Hal itu bertujuan agar anak didik tidak merasa canggung untuk mengungkapkan isi hati dan pikirannya, sehingga pendidik dapat memahami kebutuhan anak didik tersebut. Bila hal ini dilakukan dengan baik, maka seorang pendidik pun dapat mengajar dengan cinta begitu juga sebaliknya anak didik pun akan mencintainya.
Adapun dalam berkomunikasi, Islam menganjurkan umatnya untuk berkomunikasi dengan baik kepada sesama manusia. Dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Antara lain, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, qaulan ma’rufa, qaulan layyina, dan qaulan sadidan.[136] Adapun ayat-ayat tersebut, antara lain:
1. Qaulan Baligha
أ ولٰئَأ ُوٰلَئِ َكَكَ ال  َّذِیَنَ یعْلَُ  َّﷲَّ َمَّ ﷲُ فِيِ ق ل وب ھِقُل ُوب ِ ِھْمْمْ فأَ عْرِفَأ َ ْع ِر ْضْضْ عَنْھُْ وَعِظْھُْ وَقَوقُ ْلْلْ لھَُْ فِيِ أ نْفسِھِأ َْنفُ ِس ِھْمْمْ  قوًَْلًا بلیبَلِی ًغاًغًا (٦٣)
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Q.S. An-Nisa:
63)[137]

2.      Qaulan Maysura
 َوَإإِمَّ ا تعْرِتُ ْع ِر َضَضَنَّ  عَنْھُُ ابْتغَاا ْبتِ َغا َءَءَ رَحْمٍَةٍ مِْنْ َرَبِّ َ ترَْجُوھَاَ فقَُْ لھلَھُ ْمُْ قوًَْلًا مَیْسُوًرًا (٢٨)
Artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.” (Q.S. Al-Isra: 28)[138]



3.      Qaulan Karima
وَقضََٰىٰ َرَبُّ َ أأ َلَّ ا تعَْبُُدُو إإِلَّ ا إِیاَّ هاهُ وَب اْلوَالدَیَْوب ِ ْالَوالِ َد ْی ِنِنِ إ حْسَانإِ ْح َسانًاًاً ۚ إاِ مَّ  یبَْلیَ ْبل ُ َغَغَنَّ  عِنْدََكَ ال كِبال ْ ِكبَ َرََ أ حَدُھأ َ َح ُدھُ َماَُمُ
أ أ َ ْوْوْ كِلَاھَُمُ فََ تقَُْ لھََُمُ أأ ُفٍّ  وََلَا تنَْھرَْھَُمُ وَقُْ لھََُمُ قوًَْلًا كَرِیًمًا (٢٣)
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Isra: 23)[139]

4.      Qaulan Ma’rufa
وََلَات تُوُاُْ السُّ فھَاََءَ أ مْوَالكُأ َ ْم َوالَ ُكُمُمُ ال  َّتِي جَعََلَ  َّﷲَّ ﷲُ لكُلَ ُكْمْمْ قیاَقِیَا ًماًمًا وَارْزُقوھَوا ْر ُزقُوھُ ْمُْ فیھفِیھَاَاَ وَاكْسُوھُْ  وَقولَوقُول ُواُوا لھلَھُ ْمُْ قوًَْلًا مَعْرُوفًا (٥)
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna      akalnya,    harta   (mereka           yang    ada      dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. An-
Nisa: 5)[140]

5.      Qaulan Layyina
فق وفَقُو َلاَلَا لھَلَھُ قوًَْلًا لَینِّ ًاً للَ َعلَعَلھھَُّ   یتَََكَّ ُرُ أأ َ ْوْوْ یخَْشَٰىٰ  (٤٤)
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. At-Tahaa: 44)[141]


6.      Qaulan Sadidan
وَْلیخََْشَ ال  َّذِیَنَ لَْ ترََُكُوا مِْنْ خَل فھَِخل ْفِ ِھْمْمْ ُذُرِّ یةَّ ضًِ عَافًا خَافُوا عَلیْھَِعلَ ْی ِھْمْمْ فلیفَْلیَتَتَ َّقُوا  َّﷲَّ ﷲَ وَْلیقَولَْولیَقُول ُواُوا
 قَْوَ سَدِیًدًا (٩)
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka        bertakwa         kepada             Allah   dan      hendaklah       mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa: 9)[142]

Ayat-ayat Al-Qur’an di atas merupakan ayat yang mengandung prinsipprinsip komunikasi, yaitu bagaimana sikap seseorang ketika berkomunikasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa konsep mendidik anak dengan cinta, yaitu dalam hal mendidik anak dengan cara berkomunikasi yang ditawarkan oleh Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Komunikasi orangtua terhadap anak sangatlah penting, dikarenakan dengan berkomunikasi orangtua dapat mengetahui isi hati anak atau apa yang diinginkan anak tersebut. Sebaliknya, dengan terbiasa berkomunikasi anak akan lebih mudah menyampaikan apa yang ada dipikiran dan hatinya tanpa ada rasa canggung sedikitpun kepada orangtua. Dan yang terpenting adalah dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua haruslah menggunakan perkataan yang mudah dimengerti, bernada lunak, indah, menyenangkan, halus, dan memberikan rasa optimis bagi anak sesuai dengan

ayat-ayat Al-Quran yang telah peneliti sampaikan di atas, sehingga komunikasi tersebut dapat mempererat hubungan antara orangtua dan anak.

N. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Memberikan Penghargaan
(Rewards)
Memberikan penghargaan sangat dianjurkan dalam mendidik anak, terutama dalam membina akhlak. Penghargaan dalam bahasa Inggris disebut dengan “rewards” memiliki arti yang sama dengan kata “tsawab” dalam bahasa Arab, yaitu upaya memberikan ganjaran (pahala atau balasan) terbaik terhadap seorang yang telah melakukan kebaikan atau prestasi.[143] Akhmad Muhaimin Azzet dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Favorit, menyatakan bahwa seorang guru yang dicintai dan mencintai anak didiknya adalah yang bisa memberikan penghargaan kepada anak didiknya. Penghargaan yang dimaksud di sini tidak harus bermakna penghargaan yang berupa materi atau pemberian hadiah berupa barang. Penghargaan juga bisa diberikan hanya dengan kata-kata yang bermakna positif dan menyenangkan.[144]
Sebagaimana yang dikatakan Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta bahwa bukan barang adalah alternatif bentuk hadiah terbaik untuk anak. Jadi, bisa berupa perhatian, pujian, atau bentuk-bentuk kasih sayang lainnya seperti belaian, pelukan, ciuman, dan sebagainya. Jangan khawatir jika anak ketagihan mendapat hadiah seperti ini. Karena, semakin banyak hadiah-hadiah ini diberikan orangtua, semakin mendukung pula terbentuknya kepribadian positif dan percaya diri yang mantap pada diri anak.[145]
Irawati pun menambahkan bahwa model hadiah dapat disesuaikan dengan tingkat usia anak. Mereka yang masih kecil akan lebih menyukai hadiah berbentuk kontak fisik seperti pelukan dan ciuman. Sementara yang duduk di bangku sekolah dasar, lebih tepat diberi banyak pujian, perhatian, dan komunikasi aktif. Ada orangtua yang kurang yakin keefektifan hadiah non-barang ini karena menganggapnya sebagai satu hal yang remeh. Padahal sebenarnya, setiap anak merindukan pujian dan penghargaan yang tiada habis-habisnya. Bahkan, ini adalah salah satu kebutuhan esensial mereka, yang kelak sangat menentukan besar tidaknya kepercayaan dirinya.154
Islam sangat menganjurkan pemberian hadiah kepada anak-anak, hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a, dikutip dalam Amani Ar-Ramadi bahwa, “Ada sekelompok orang apabila melihat buah yang keluar pertama kali dari sebatang pohon, mereka selalu membawa kepada Rasulullah SAW. Setelah mengambilnya, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkatilah buah-buahan ini bagi kami, bagi kota Madinah kami ini dan berkatilah dalam takaran kami. Kemudian beliau memanggil anak paling kecil yang dilihatnya, lalu memberikan buah itu’.” (HR. Muslim)[146]
Dalam hadits lain, dikutip dalam Arisman, Rasulullah SAW pun bersabda, “Hargailah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka” (HR. Nasa’i). Penghargaan itu diberikan terhadap pribadi mereka, karya mereka, ilmu mereka, dan keyakinan mereka.156 Berdasarkan hadits tersebut sangatlah jelas bahwa dalam hal mendidik anak Islam juga telah menganjurkan kepada orangtua untuk menerapkan konsep pemberian penghargaan kepada anak didik atas apa yang ia capai. Jadi, dapat peneliti simpulkan bahwa konsep mendidik anak dengan cinta, yaitu berupa mendidik anak dengan memberikan penghargaan (rewards) yang ditawarkan oleh Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam, sebagaimana hadits-hadits yang telah peneliti sampaikan di atas.

O. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Menumbuhkan Kemandirian 

Peran orangtua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orangtua dan latihan-latihan keterampilan menuju kemandiriannya.[147] Menurut Parker, dikutip dalam Komala, mengatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengelola semua milik kita, tahu bagaimana mengelola waktu, berjalan dan berfikir secara mandiri, disertai kemampuan untuk mengambil resiko dan memecahkan masalah.[148] Adapun menurut Sutari Imam Barnadib dalam Komala, mengatakan bahwa kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.159
Selaras dengan pernyataan di atas, Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta pun menyatakan bahwa dalam hal kemandirian anak, anak perlu dilatih menyelesaikan permasalahannya sendiri, sejauh mereka mampu. Banyak orangtua yang belum percaya pada kemampuan anak-anaknya. Mereka belum rela melepaskan anaknya untuk menemukan sendiri jalan keluar berbagai masalah anaknya. Padahal, Allah SWT telah memberikan karunia berupa intuisi yang sangat hebat kepada setiap manusia termasuk anak sehingga tidak mustahil jika dengan intuisinya mereka dapat memecahkan berbagai masalahnya sendiri.
Melalui ini, justru mereka dapat mengasah intuisinya secara lebih tajam.[149]
Irawati pun menambahkan bahwa beberapa kemampuan yang sudah dimiliki seorang anak yaitu salah satunya kemampuan anak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Kebanyakan orangtua ikut campur dalam menyelesaikan masalah anaknya secara membabi buta, menyodorkan penyelesaian masalah yang sudah tersusun rapi. Akhirnya, orangtua akan mendapati anaknya tumbuh menjadi sangat bergantung pada bantuan orangtuanya dan gagal mengembangkan kemampuannya sendiri. Dan mereka akan selalu datang kepada orangtuanya setiap kali menemukan masalah yang baru.[150]  
Dalam Islam, Rasulullah SAW sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak, baik dibidang sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan mandiri pada anak, agar ia bisa bergaul dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan kepribadiannya. Dengan demikian, ia mengambil manfaat dari pengalamannya, menambah kepercayaan pada dirinya, sehingga hidupnya menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Dia tidak manja, dan kedewasaan menjadi ciri khasnya.[151] Karena, pada akhirnya nanti masingmasing individulah yang dimintai pertanggung jawaban atas apa yang diperbuatnya di dunia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al- Muddatsir ayat 38 menyebutkan: 
 ُكُلُّ  نفَنَف ْ ٍسٍسٍ بب ِ َماَمَا كَسَبَْ رَھِینَةَ ٌ (٣٨)
                  Artinya:     “Setiap     orang     bertanggung     jawab     atas     apa     yang     telah  
dilakukannya.”[152] 

Selanjutnya dalam Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun ayat 62,  Allah SWT berfirman:
وَ َلَا نَكَلنُ َكلِّ ُ نفًَْسًا إإِلَّ ا وُسْعَھَاَ وَلدَیْنَاَ كِتاٌَبٌ ینَطُِقُ ب الب ِال ْ َحَحَقِّ  وَھُْ َلَا یظُْلمُویُ ْظلَ ُمو َنَنَ  (٦٢)
Artinya:     Dan         Kami   tidak    membebani      seseorang        melainkan       menurut kesanggupannya, dan pada Kami ada suatu catatan yang menuturkan dengan sebenarnya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).”[153]

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa individu tidak akan mendapatkan suatu beban di atas kemampuannya sendiri, tetapi Allah SWT Maha Mengetahui dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak bergantung pada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa konsep mendidik anak dengan cinta, yaitu berupa mendidik dengan cara menumbuhkan kemandirian pada diri anak yang ditawarkan oleh Irawati Istadi dalam pemikirannya pada buku Mendidik dengan Cinta sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam Islam, Rasulullah SAW pun telah menyuruh kepada umatnya untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam diri anak. Anak harus dibimbing agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa selalu bergantung kepada orangtua maupun orang lain. Karena, pada akhirnya anak akan bertanggung jawab pada apa yang telah dilakukannya. Dan Orangtua harus yakin bahwa segala sesuatu yang Allah SWT bebankan kepada anak, tidak akan melebihi batas kemampuan pada diri anak tersebut.

P. Relevansi Konsep Mendidik Anak dengan Disiplin

Disiplin berasal dari kata yang sama dengan ‘disciple’ yang artinya seorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Menurut Poerwadarminta, dikutip dalam Choirun Nisak, menyatakan bahwa disiplin adalah latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perhatiannya selalu mentaati tata tertib di sekolah atau militer atau dalam suatu kepartaian.[154] Adapun menurut Charles Schaefer disiplin adalah sesuatu yang mencakup pengajaran, bimbingan atau dorongan yang dilakukan oleh orang dewasa yang bertujuan untuk menolong anak belajar untuk hidup sebagai makhluk sosial dan untuk mencapai pertumbuhan serta perkembangan mereka yang optimal.[155]
Berbicara masalah pendidikan disiplin, jangan semata membayangkan bagaimana orangtua membuat peraturan dan tata tertib beserta segala sanksinya. Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, menyatakan bahwa sesungguhnya hakikat dari disiplin adalah keteraturan yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Cakupannya begitu luas, dan seluas itu pulalah yang harus diperkenalkan kepada anak-anak semenjak dini.[156]
Menurut Irawati Istadi, disiplin dapat mulai dilatih dari pola tidur. Sebagai contoh bayi, ia belum bisa membedakan siang dan malam. Mereka tidur dan bangun kapan mereka suka. Karenanya, menjadi tugas orangtualah untuk membentuk kebiasaan mereka. Jangan biasakan mereka bangun terlalu lama di malam hari karena akan merugikan orangtua dan dirinya sendiri. Bangunkan mereka dengan mengajaknya bercanda atau jalan-jalan di siang hari, hingga ketika tiba saat malam mereka telah mengantuk.[157]
Dalam hal memberikan aturan dan tata tertib untuk membiasakan seseorang dapat berlaku disiplin, Islam juga memerintahkan umatnya untuk selalu konsisten terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam  Al-Qur’an Surat Hud ayat 112, yang berbunyi: 
ف اَ سْتقَفَا ْستَقِ ْمْمْ كََمَا أ مِرْأ ُ ِم ْر َتَتَ وَمَْنْ تاََبَ مَعََكَ َوَلا تطَْغَْوْا إِنھَّ ھُ بب ِ َماَمَا تعَْمَل وتَ ْع َمل ُو َنَنَ بصَِیٌرٌ (١١٢)

  Artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan jaganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”[158]

Ayat tersebut menunjukkan bahwa disiplin bukan hanya tepat waktu saja, tetapi juga patuh pada peraturan-peraturan yang ada, melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang oleh agama. Di samping itu juga melakukan perbuatan tersebut secara teratur dan terus menerus walaupun hanya sedikit. Karena, selain bermanfaat bagi kita sendiri juga perbuatan yang dikerjakan secara terus-menerus dicintai oleh  Allah SWT walaupun hanya sedikit. Disiplin pribadi merupakan sifat dan sikap terpuji yang menyertai kesabaran, ketekunan dan lain-lain. Orang yang tidak mempunyai sikap disiplin pribadi sangat sulit untuk mencapai tujuan. maka setiap pribadi mempunyai kewajiban untuk membina melalui latihan, misalnya di rumah atau di masyarakat. Anak, selain sebagai seorang siswa yang harus memiliki disiplin belajar di sekolah, juga harus memiliki disiplin belajar di rumah maupun di lingkungan masyarakat dimana anak tersebut tinggal. Contohnya, anak dapat belajar di masjid, mushola atau tempat yang lainnya.
Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa konsep mendidik anak dengan cinta, yaitu berupa mendidik anak dengan disiplin yang ditawarkan oleh Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta sangatlah sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Karena, dalam hal pendidikan disiplin Islam pun telah memerintahkan umatnya untuk menaati segala aturan dan tata tertib yang telah diberlakukan untuk mendidik seseorang agar berlaku disiplin.


PENUTUP


Q. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.    Konsep mendidik anak dengan cinta dalam pemikiran Irawati Istadi adalah suatu usaha dalam mendidik anak dengan cara meletakkan cinta kepada anak, yakni berupa: kasih sayang, lemah lembut, komunikasi orangtua kepada anak, memberikan penghargaan (rewards), menumbuhkan kemandirian anak, dan
disiplin.
2.    Antara konsep mendidik anak dengan cinta menurut pemikiran Irawati Istadi dengan konsep pendidikan Islam terdapat relevansi yang sangat kuat. Konsep mendidik anak dalam bentuk kasih sayang, lemah lembut, komunikatif, memberikan penghargaan (rewards), menumbuhkan kemandirian, dan
disiplin, sebagaimana dijelaskan oleh Irawati Istadi tersebut juga diajarkan secara jelas dan detail dalam konsep pendidikan Islam. Dengan kata lain, konsep mendidik anak dengan cinta menurut Irawati Istadi sangat sejalan dengan konsep pendidikan Islam menurut Al-Qur’an dan Hadits.    





R. Saran

Setelah mengadakan penelitian tentang konsep mendidik anak dengan cinta dalam perspektif pendidikan Islam (analisis kritis terhadap pemikiran Irawati Istadi), maka peneliti ingin menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1.      Kepada pembaca, penelitian ini dapat menambah wawasan khususnya bagi peneliti mengenai konsep mendidik anak sebagaimana yang dianjurkan dalam  pendidikan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
2.      Konsep mendidik anak dengan cinta yang ditawarkan oleh Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta itu hendaknya dapat
diimplementasikan dalam kehidupan nyata agar dapat diambil manfaat dari pelaksanaannya, yakni orangtua atau pendidik dapat lebih kreatif dalam menunjukkan rasa cinta kepada anak sehingga anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang mandiri, kreatif dan penuh percaya
diri. 


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI. 2005. Bandung: PT Syaamil Cipta Media.

Abdurrahman, Jamal. 2006. Cara Nabi Menyiapkan Generasi. Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera.

Al-Bugha, Musthafa Dieb. 2002. Al-Wafi (Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi). Penerjemah: Iman Sulaiman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Afifuddin, H. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.

Amin, M. Rusli. 2015. Cinta Segitiga: Allah-Rasul-Manusia. Jakarta: AMP Press.

Ar-Ramadi, Amani.  2013. Pendidikan Cinta untuk Anak. Solo: Aqwam.

Arifin, Muzayyin. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arisman. 2012. “Konsep Mendidik dengan Cinta dalam Pendidikan Formal menurut Ajaran Islam”. Skripsi sarjana Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang.

Atabik, Ahmad. 2015. Prinsip dan Metode Pendidikan Anak Usia Dini. (Online).

Aulina, Choirun Nisak. 2013. Penanaman Disiplin pada Anak Usia Dini. (Online). (http://journal.umsida.ac.id/files/LinaV2.1.pdf). Vol. 2. No. 1. Diakses 5 Desember 2016.

Azra, Azyumardi. 2014. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan  Milenium III. Jakarta: Kencana.

Basya, Hassan Syamsi. 2010. Cara Jitu Mendidik Anak Sholeh dan Unggul di Sekolah. Jakarta: Zikrul Hakim.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan.

Daulay, Haidar Putra. 2012. Pendidikan Islam dalam Mencerdaskan Bangsa. Jakarta: Rineka Cipta.

Daulay, Haidar Putra. 2012. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2014. Pola Asuh Orangtua dan Komunikasi dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Frahasini. 2014. Peran Orangtua dalam Memberikan Dorongan Cinta Kasih bagi  Pendidikan Anak. (Online). (http://id.portalgaruda.org/index.php?ref  =browse&mod=viewarticle&article=175169). Vol. 03. No. 9. Diakses 21  November 2016.
Hamid, Nabil. 2005. Ajaran Guru Cinta. Depok Sleman: Pustaka Aum Shantih.

Hasbullah. 2012. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam). Jakarta: Rajawali Pers.

Hawi, Akmal. 2006. Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.

Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.

Huraerah, Abu. 2012. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendikia.

Istadi, Irawati. 2016. Mendidik dengan Cinta. Yogyakarta: Pro-U Media.

Komala. 2015. Mengenalkan dan Mengembangkan Kemandirian Anak Usia Dini melalui Pola Asuh Orangtua dan Guru. (Online). (https://ejournal.stkipsiliwangi . ac.id/index . php / tunas-siliwangi/article/view/90/84). Vol. 1. No. 1. Diakses 5 Desember 2016.

Kasmijan. 2007. “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi
Analisis terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman ElShirazy)”. Skripsi sarjana Pendidikan Islam. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo.

Kosim, M. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun: Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta: Rineka Cipta.

Mahali, Ahmad Mudjab. 2002. Membangun Pribadi Muslim. Yogyakarta: Menara Kudus. 

Minarti, Sri. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. 

Mohibu, Aldenis.  2015. Peranan Komunikasi Orangtua dalam Meningkatkan Minat Belajar Anak. (Online). (http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna /article/viewFile/8503/8078). Vol. IV. No. 4. Diakses 5 Desember 2016.

Muhajir. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kopertais Wilayah III DIY.

Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.

Nuraeni. 2014. Pendidikan Karakter pada Anak Usia Dini. (Online). (http://fip.ikipmataram.ac.id/wp-content/uploads/2015/03/PENDIDIKANKARAKTER-PADA-ANAK-USIA-DINI.pdf). Vol. 1. No. 2. Diakses 5 Desember 2016.

Nurhidayati, Titin . 2011. Pendekatan Kasih Sayang: Solusi Pengembangan Karakter
Terpuji dan Akhlak Mulia dalam Diri Anak Didik. (Online). ( https : //jurnalfalasifa .files.wordpress.com/2012/11/1-titin-nurhidayati-pendekatankasih-sayang-solusi-pengembangan-karakter-terpuji-dan-akhlak-mulia-dalamdiri - anak-didik. pdf) . Vol. 2. No. 2. Diakses 5 Desember 2016.

Sagala, Syaiful. 2013. Konsep & Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Sardiman. 2016. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sibawaih. 2015. Al-Qur’an dan Prinsip Komunikasi. (Online). (http ://ejurnal.iainmataram. ac .id/index.php/komunike/article/download/468/413). Vol. 7. No. 1. Diakses 24 Januari 2017.

Sunarto, Achmad. 2012. Nikmatnya Pacaran Menurut Syari’at Islam. Surabaya: Ampel Mulia.

Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers.

Suryadi. 2007. Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta: EDSA Mahkota.

Syarbini, Amrullah. 2012. Kiat-Kiat Islam Mendidik Akhlak Remaja. Jakarta: Quanta.

Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Taubah, Mufatihatut. 2015. Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Islam. (Online),(http://jurnalpai.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpai/article/download/41 /41). Vol. 03. No. 01. Diakses 4 September 2016.

Tim Pustaka Phoenix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix.

Ulwan, Abdullah Nashih. 2013. Tarbiyatul Aulad. Jakarta: Khatulistiwa Press.

Umar, Bukhari. 2012. Hadis Tarbawi, Pendidikan dalam Perspektif Hadis. Jakarta:
Amzah.
Wijanarko, Jarot. 2012. Mendidik Anak dengan Hati. Banten: PT Happy Holy Kids.

Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.

Yus, Anita. 2011. Model Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.

Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.







[1] Jarot Wijanarko, Mendidik Anak dengan Hati, (Banten: PT Happy Holy Kids, 2012), hlm. 22
[2] Muhajir, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kopertais Wilayah III DIY, 2011), hlm. 85
[3] Akmal Hawi, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2008), hlm. 54
[4] Ibid., hlm. 180-181
[5] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), hlm. 383
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 51
[7] M. Rusli Amin, Cinta Segitiga: Allah-Rasul-Manusia, (Jakarta: AMP Press, 2015),  hlm. 15
[8] Ibid., hlm. 17
[9] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 23
[10] Arisman, “Konsep Mendidik dengan Cinta dalam Pendidikan Formal menurut Ajaran Islam”. Skripsi sarjana Pendidikan Islam, (Palembang: Perpustakaan IAIN Raden Fatah, 2012), hlm. x
[11] Frahasini, 2014, Peran Orangtua dalam Memberikan Dorongan Cinta Kasih bagi Pendidikan Anak, (Online), (http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle
&article=175169), Vol. 03, No. 9, hlm. 1, 21 November 2016, Pukul 21.01
[12] Kasmijan, “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy)”. Skripsi sarjana Pendidikan Islam, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2007), hlm. v, 4 September 2016, Pukul 15.01
[13] Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru, (Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix, 2009), hlm. 476
[14] 4Syaiful Sagal, Konsep & Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 73 
[15] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 1
[16] Ibid., hlm. 2
[17] Mufatihatut Taubah, 2015, Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Islam, (Online), (http://jurnalpai.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpai/article/download/41/41), Vol. 03, No. 01, hlm.
[18] , 4 September 2016, Pukul 15.30
[19] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 60  19 Hasbullah, Op.Cit., hlm. 23-24
[20] Jarot Wijanarko, Op.Cit., hlm. 10
[21] Irsyad Maarif, Metode Pendidikan Anak dalam Buku Mendidik Anak dengan Cinta Karya Irawati Istadi (Ditinjau dari Perspektif Pendidikan Islam), (Purwokerto: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, 2008), hlm. 41
[22] Suryadi, Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini, (Jakarta: EDSA Mahkota, 2007), hlm. 102-103
[23] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 383                  24 Ibid., hlm. 23
[24] Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 3
[25] Afifuddin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 140-
[27] Ibid., hlm. 165
[28] Ibid., hlm. 159-160
[29] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), hlm. 387                30 Ibid., hlm. 387-388
[30] Ibid., hlm. 388
[31] Irsyad Maarif, Metode Pendidikan Anak dalam Buku Mendidik Anak dengan Cinta Karya Irawati Istadi (Ditinjau dari Perspektif Pendidikan Islam), (Purwokerto: Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, 2008), hlm. 54-55
[32] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 388 
[33] Ibid., hlm. 22
[34] Ibid., hlm. 22-23  36 hlm. 25-26 
[35] Ibid., hlm. 34
[36] hlm. 40
[37] Ibid., hlm. 48-49  40 hlm. 68-69
[38] Ibid., hlm. 74-76
[39] hlm. 77
[40] hlm. 78
[41] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 1
[42] Akmal Hawi, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,
[43] ), hlm. 180-181
[44] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib AlAttas, (Bandung: Mizan, 2003),  hlm. 174
[45] Ibid., hlm. 175
[46] Bukhari Umar, Hadis Tarbawi, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 120
[47] Anita Yus, Model Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 9 
[48] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 28
[49] Mufatihatut Taubah, 2015, Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Islam, (Online), (http://jurnalpai.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpai/article/download/41/41), Vol. 03, No. 01, hlm.
[50] , 4 September 2016, Pukul 15.30
[51] Ibid., hlm. 116
[52] Abu Huraerah, Kekerasan terhadap Anak, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2012), hlm. 31
[53] Akmal Hawi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), hlm. 9-10
[54] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 114
[55] Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orangtua dan Komunikasi dalam Keluarga, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2014), hlm. 160-161
[56] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 9
[57] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Mencerdaskan Bangsa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 7
[58] Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hlm. 158  60 Ibid.
[59] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 412
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Haidar, Op.Cit., hlm. 11-16
[63] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid II, hlm. 165
[64] Ibid., hlm. 193
[65] Ibid., hlm. 238
[66] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid I, hlm. 259
[67] Ibid., hlm. 301
[68] Ibid., hlm. 363
[69] Ibid., hlm. 435 
[70] Abdullah Nashih Ulwan, Op.Cit., jilid II, hlm. 1
[71] Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm. 31
[72] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 66
[73] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 139
[74] Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm. 143
[75] Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hlm. 185
[76] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 152
[77] Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm. 146-147
[78] Achmad Sunarto, Nikmatnya Pacaran Menurut Syari’at Islam, (Surabaya: Ampel Mulia,
[79] ),  hlm. 39-40
[80] Nabil Hamid, Ajaran Guru Cinta, (Depok Sleman: Pustaka Aum Shantih, 2005), hlm 117
[81] M. Rusli Amin, Cinta Segitiga: Allah-Rasul-Manusia, (Jakarta: AMP Press, 2015),  hlm. 17
[82] Musthafa Dieb Al-Bugha dan M. Sa’id Al-Khim, Al-Wafi (Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi), Penerjemah: Iman Sulaiman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hlm. 389
[83] Alex M.A, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, (Surabaya: Karya Harapan, 2005), hlm. 87
[84] Arisman, Konsep Mendidik dengan Cinta dalam Pendidikan Formal menurut Ajaran Islam, (Palembang: Perpustakaan IAIN Raden Fatah, 2012), hlm. 36-37
[85] Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad As-Saibani, Musnad Akhmad, (Libanon.: Dar Al-Fiqri, 1992), hlm. 107
[86] Suryadi, Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini, (Jakarta: EDSA Mahkota, 2007), hlm. 102-103
[87] Hassan Syamsi Basya, Cara Jitu Mendidik Anak Sholeh dan Unggul di Sekolah, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2010), hlm. 28
[88] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 560
[89] Arisman, Op.Cit., hlm. 93-95
[90] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 71 
[91] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), hlm. 383 95          ., hlm. 22
[92] Ibid., hlm. 51
[93] ., hlm. 95
[94] Ibid., hlm. 88           99 Ibid., hlm. 92
[95] ., hlm. 76
[96] Ibid.
[97] Ibid., hlm. 77-78
[98] Ibid., hlm. 93
[99] Ibid.
[100] Ibid., hlm. 94
[101] Ibid., hlm. 20-21
[102] Ibid., hlm. 23
[103] Ibid., hlm. 25
[104] Ibid.
[105] Ibid., hlm. 26
[106] Ibid., hlm. 98
[107] Ibid., hlm. 100 113 Op.Cit.  114 Op.Cit.
[108] ., hlm. 241
[109] Ibid.
[110] Ibid.
[111] ., hlm. 242-243
[112] ., hlm. 243
[113] ., hlm. 52
[114] Ibid., hlm. 52-53
[115] Ibid., hlm. 53
[116] ., hlm. 54
[117] ., hlm. 55
[118] Ibid., hlm. 203
[119] ., hlm. 203-204
[120] ., hlm. 204
[121] ., hlm. 204-205
[122] ., hlm. 205-206
[123] ., hlm. 206
[124] Ibid., hlm. 206-207
[125]    ., hlm. 207
[126] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), hlm. 93  134 Ibid.
[127] Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad As-Saibani, Musnad Akhmad, (Libanon.: Dar Al-Fiqri, 1992), hlm. 107
[128] Arisman, Konsep Mendidik dengan Cinta dalam Pendidikan Formal menurut Ajaran Islam, (Palembang: Perpustakaan IAIN Raden Fatah, 2012), hlm. 93-94
[129] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 71 
[130] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 22 
[131] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 314
[132] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 100
[133] Akhmad Muhaimin Azzet, Menjadi Guru Favorit, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 31-32
[134] Arisman, Op.Cit., hlm. 78
[135]  ., hlm 78-79
[136] Sibawaih dan Agus Dedi Putrawan, 2015, Al-Qur’an dan Prinsip Komunikasi, (Online), (http://ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/komunike/article/download/468/413), Vol. 7, No. 1, hlm. 6, 24 Januari 2017, Pukul 23.30
[137] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 88
[138] ., hlm. 285
[139] Ibid., hlm. 284
[140] Ibid., hlm. 77
[141] ., hlm. 314
[142] ., hlm. 83
[143] Amrullah Syarbini, Kiat-Kiat Islam Mendidik Akhlak Remaja, (Jakarta: Quanta, 2012), hlm. 76
[144] Akhmad Muhaimin Azzet, Op.Cit., hlm. 32
[145] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 241 154 Ibid.
[146] Amani Ar-Ramadi, Pendidikan Cinta untuk Anak, (Solo: Aqwam, 2013), hlm. 69-70  156 Arisman, Op.Cit., hlm. 54
[147] 7Nuraeni,      2014,      Pendidikan    Karakter           pada          Anak      Usia      Dini,   (Online),
ANAK-USIA-DINI.pdf), Vol. 1, No. 2, hlm. 4, 5 Desember 2016, Pukul 02.00
[148] Komala, 2015, Mengenalkan dan Mengembangkan Kemandirian Anak Usia Dini melalui Pola Asuh Orangtua dan Guru, (Online), (https://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/tunassiliwangi/article/view/90/84), Vol. 1, No. 1, hlm. 33, 5 Desember 2016, Pukul 02.00  159 Ibid.
[149] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 54
[150] Ibid., hlm. 55
[151] Jamal Abdurrahman, Cara Nabi Menyiapkan Generasi,  (Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera, 2006), hlm. 213
[152] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 576
[153] Ibid., hlm. 346
[154] Choirun Nisak Aulina, 2013, Penanaman Disiplin pada Anak Usia Dini, (Online), (http://journal.umsida.ac.id/files/LinaV2.1.pdf), Vol. 2, No. 1, hlm. 37, 5 Desember 2016, Pukul 01.40
[155] Ibid., hlm. 38
[156] Irawati Istadi, Op.Cit., hlm. 203
[157] Ibid., hlm. 203-204
[158] Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 234