ISLAM, ESTETIKA DAN SENI
Abdul Hadi W. M.
I
Estetika (aesthetics), sesuai dengan makna etimologisnya, ialah pengetahuan tentang obyek-obyek penikmatan indera. Karya manusia yang dimaksudkan sebagai obyek penikmatan indera adalah karya seni. Sebagai cabang ilmu dan falsafah, estetika sering disamakan dengan teori seni, kritik seni dan falsafah keindahan. Tidak jarang juga disebut teori keindahan. Sebagai kritik seni yang dikaji dalam estetika ialah kriteria yang dapat dijadikan dasar penilaian terhadap karya seni. Dalam menetapkan kriteria itu juga diperhatikan wawasan atau pandangan estetik yang mendasari sebuah hasil ciptaan.
I
Estetika (aesthetics), sesuai dengan makna etimologisnya, ialah pengetahuan tentang obyek-obyek penikmatan indera. Karya manusia yang dimaksudkan sebagai obyek penikmatan indera adalah karya seni. Sebagai cabang ilmu dan falsafah, estetika sering disamakan dengan teori seni, kritik seni dan falsafah keindahan. Tidak jarang juga disebut teori keindahan. Sebagai kritik seni yang dikaji dalam estetika ialah kriteria yang dapat dijadikan dasar penilaian terhadap karya seni. Dalam menetapkan kriteria itu juga diperhatikan wawasan atau pandangan estetik yang mendasari sebuah hasil ciptaan.
Dalam pengertian tersebut estetika membicarakan obyek-obyek estetik, kualitas karya seni serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia, yaitu perasaan, imaginasi, alam pikiran dan intuisi. Apabila yang dibicarakan sebuah karya yang berhubungan dengan bentuk spiritualitas dan agama tertentu, mestilah dijelaskan sejauh mana pemahaman dan penghayatan si pencipta terhadap bentuk spiritualitas dan agama tersebut, atau gagasan serta pengalaman religius apa yang disajikan dalam karyanya.
Estetika juga sering diartikan sebagai
kaedah atau metode menilai karya seni untuk keperluan seni itu sendiri
dan disiplin di luar seni. Misalnya etika, agama, ideologi, politik dan
kebudayaan. Tinjauan terhadap nilai seni suatu karya disebut tinjauan
instrinsik dan tinjuan berdasarkan etika, agama, ideologi dan sosiologi
disebut tinjauan ekstrinsik. Namun sebaiknya kedua bentuk penilaian itu
digabung karena karya seni pertama-tama ialah karya seni, bukan uraian
tentang moral, fiqih, falsafah, ideologi atau masyarakat.
II
Dalam tradisi kecendekiawanan Islam ada dua golongan yang paling memberi perhatian terhadap persoalan seni dan estetika yaitu para Filosof, Budayawan dan Sufi. Seni dan estetika dianggap penting sebagai pemberi asas dan arah bagi perkembangan kebudayaan, sekaligus mempunyai peranan dalam perkembangan kebudayaan. Keperluan akan teknologi tertentu sering didorong oleh tuntutan perkembangan seni seperti seni tulis, arsitektur dan seni lukis. Misalnya teknologi penjilidan buku, pencetakan, pembuatan bahan pewarna dan lain-lain.
Dalam tradisi kecendekiawanan Islam ada dua golongan yang paling memberi perhatian terhadap persoalan seni dan estetika yaitu para Filosof, Budayawan dan Sufi. Seni dan estetika dianggap penting sebagai pemberi asas dan arah bagi perkembangan kebudayaan, sekaligus mempunyai peranan dalam perkembangan kebudayaan. Keperluan akan teknologi tertentu sering didorong oleh tuntutan perkembangan seni seperti seni tulis, arsitektur dan seni lukis. Misalnya teknologi penjilidan buku, pencetakan, pembuatan bahan pewarna dan lain-lain.
Seni juga ikut memajukan perkembangan
ekonomi dan perdagangan. Perdagangan orang Islam di masa lalu berkembang
berkat keperluan akan barang-barang seni, seperti perabot rumah tangga,
keramik, ukir-ukiran dan tekstil yang indah dan bagus. Di Jawa
perkembangan industri batik tidak terlepas dari tuntutan akan kain batik
yang memiliki kualitas artistik.Karena besarnya pengaruh seni terhadap
moral, perkembangan jiwa dan pikiran manusia maka, tidak dapat tidak,
menjadikan masalah estetika sangat penting.
III
Para Filosof dan Sufi lazim merujukkan masalah yang berhubungan dengan estetika dengan beberapa ayat mutasyabihat al-Qur`an, karena pandangan al-Qur`an tentang estetika kebanyakan diisyaratkan dalam ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya berkenaan dengan Hadis yang menyatakan “Tuhan Maha Indah (jamal) dan mencintai keindahan”, atau “Sebagian puisi itu menyesatkan dan sebagian lagi merupakan hikmah”.
Para Filosof dan Sufi lazim merujukkan masalah yang berhubungan dengan estetika dengan beberapa ayat mutasyabihat al-Qur`an, karena pandangan al-Qur`an tentang estetika kebanyakan diisyaratkan dalam ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya berkenaan dengan Hadis yang menyatakan “Tuhan Maha Indah (jamal) dan mencintai keindahan”, atau “Sebagian puisi itu menyesatkan dan sebagian lagi merupakan hikmah”.
Istilah atau kata-kata keindahan
(jamal) seperti termaktub dalam Hadis di atas dikaitkan dengan
istilah-istilah konseptual dan estetis dalam beberapa ayat al-Qur`an
seperti:
(1) Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zahir dan yang Batin (Huwal
awwalu wal-akhiru wazhh-zhahiru wal-bathinu, QS 57:3); (2) Segala sesuatu akan lenyap kecuali Wajah Tuhan (Kullu man `alayha fanin wa-yabqa wajhu rabbika, QS 55:29); (3) Kemana pun kau memandang akan nampak wajah Allah (ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajhullahi, QS 2:115); (4) Dalam alam semesta dan diri manusia terbentang ayat-ayat-Nya; dan masih banyak lagi.
awwalu wal-akhiru wazhh-zhahiru wal-bathinu, QS 57:3); (2) Segala sesuatu akan lenyap kecuali Wajah Tuhan (Kullu man `alayha fanin wa-yabqa wajhu rabbika, QS 55:29); (3) Kemana pun kau memandang akan nampak wajah Allah (ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajhullahi, QS 2:115); (4) Dalam alam semesta dan diri manusia terbentang ayat-ayat-Nya; dan masih banyak lagi.
Sebagai Yang Zahir Tuhan dapat
dijadikan perenungan estetis dam perenungan tersebut disarankan membawa
kita kepada bentuk-bentuk keindahan dan kebenaran yang lebih hakiki atau
lebih tinggi. Sebagaimana bentuk spiritualitas Islam, estetika dalam
Islam merupakan perjalanan dari bentuk-bentuk (surah) menuju hakikat
segala bentuk (ma`na) darimana manusia berasal. Memang alam tradisi
Islam estetika dikaitkan dengan metafisika atau ontologi, pengetahuan
dan pemahaman tentang wujud dan peringkat-peringkatnya dari yang zahir
sampai kepada yang batin. Karya seni di sini dipahami sebagai
manifestasi estetika yang paling tinggi yang diharapkan dapat membawa
penikmatnya pada tingkat kearifan yang lebih tinggi. Atau dapat
mendorong manusia melakukan pendakian dari Yang Zahir menuju Yang Batin,
dari alam tasybih, yaitu alam bentuk-bentuk dan gejala-gejala yang
dapat dicerna indera, menuju alam tanzih yaitu alam transendental yang
menuntut tajamnya penglihatan kalbu.
Yang Zahir dari hakikat Tuhan dalam Q 2:115 dinyatakan sebagai Wajah-Nya
(wajhu) dan wajah-Nya yang indah itu sering diiendetikan dengan
sifat-sifat dan pekerjaan-Nya yang indah di dunia ciptaan. Pada tahapan
awal keindahan ilahi ini dapat ditangkap oleh panca indera (pengalaman
empiris), tetapi dalam kelanjutannya akal pikiran dan penglihatan rohani
manusia juga terlibat. Wajah-Nya yang Zahir itu dinyatakan juga sebagai
ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang menakjubkan,
isyarat-isyarat-Nya yang mewartakan adanya sesuatu yang tidak kelihatan
dalam alam kenyataan. Sesuatu yang tidak terlihat itu, yang ada di dalam
isyarat=Nya, ialah al-hikmah-Nya yang tersembunyi dari penglihatan
zahir.
Wajah Tuhan yang Maha Indah itu juga
terangkum dalam dua sifat kembar Tuhan dalam kalimah Bismillah al-rahman
al-rahim. Sifat Tuhan yang maha indah dan merupakan Wajah atau
Penampakan-Nya ialah al-rahman dan al-rahim. Inti kedua kata itu apabila
dikenakan kepada Tuhan ialah Cinta dan Rahmah. Akar kata al-rahman dan
al-rahim sama dengan akar kata al-rahmah. Dengan demikian keindahan
karya Tuhan dapat dilihat pada besarnya cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya.
Dalam menilai karya seni Islam asas ini
sangat penting. Cinta dalam diri atau pada manusia, sebagai penghasil
karya seni, ialah kecenderungannya akan keimanan, ketaqwaan, kebahagiaan
dan hasratnya untuk menegakkan kebaikan dan menentang segala bentuk
keburukan, kejahilan, kedhaliman dan ketakadilan. Seni dalam pandangan
ini tidak lain ialah suatu bentuk ibadah, pengabdian kepada Yang Haqq.
Dalam surat al-Nur diterangkan bahwa
Tuhan mengumpamakan diri sebagai cahaya di atas cahaya. Cahaya ialah
perumpamaan yang sangat indah dan tepat terhadap wujud Tuhan yang Batin
itu. Cahaya merujuk kepada ilmu atau hikmah, sebab seperti ilmu dan
hikmah cahaya menerangi manusia dalam kegelapan, memberi petunjuk menuju
kebenaran. Cahaya juga merujuk kepada moral atau akhlaq yang mulia.
Berdasarkan penggambaran cahaya yang
berperingkat-peringkat di alam kewujudan ini, dari kewujudan yang paling
tinggi hingga kewujudan yang paling rendah, dari yang tanzih
(transenden) hingga yang tasybih (immanen), maka keindahan juga
dipandang berperingkat-peringkat. Semaakin dekat kearifan yang
dicetuskan karya seni dengan hakekat kebenaran tertinggi. semakin indah
pula karya tersebut.
Dengan mengikuti pembagian Imam al-Ghazali, kita dapat membagi keindahan sesuai peringkatnya sebagai berikut:
1. Keindahan inderawi dan nafsani (sensual), disebut juga keindahan lahir.
2. Keindahan imaginatif dan emotif.
3. Keindahan aqliyah atau rasional.
4. Keindahan ruhaniyah atau `irfani.
5. Keindahan ilahiyah atau transendental.
1. Keindahan inderawi dan nafsani (sensual), disebut juga keindahan lahir.
2. Keindahan imaginatif dan emotif.
3. Keindahan aqliyah atau rasional.
4. Keindahan ruhaniyah atau `irfani.
5. Keindahan ilahiyah atau transendental.
Seorang seniman melahirkan karyanya
untuk membawa naik penikmatnya dari tatanan lahir keindahan menuju
tatanan keindahan yang lebih tinggi yang ada di atasnya. Semakin tinggi
tatanan keindahan yang disajikan sebuah karya seni, maka semakin dekat
pula ia dengan hakekat wujud.
IV
Lebih jauh susunan atau urutan keindahan seperti telah dikemukakan juga sesuai dengan susunan sarana kejiwaan manusia dalam kaitannya dengan peringkat kebenaran dan hakekat yang dicapai melalui masing-masing sarana kejiwaan tersebut. Keindahan pribadi manusia dan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan dan di alam dunia juga tersusun seperti itu peringkatnya, yaitu dalam kaitannya dengan penerimaan masing-masing sarana kejiwaan manusia. Begitu pula hanya dengan mutu karya seni.
Lebih jauh susunan atau urutan keindahan seperti telah dikemukakan juga sesuai dengan susunan sarana kejiwaan manusia dalam kaitannya dengan peringkat kebenaran dan hakekat yang dicapai melalui masing-masing sarana kejiwaan tersebut. Keindahan pribadi manusia dan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan dan di alam dunia juga tersusun seperti itu peringkatnya, yaitu dalam kaitannya dengan penerimaan masing-masing sarana kejiwaan manusia. Begitu pula hanya dengan mutu karya seni.
Keindahan alam misalnya dapat dicerap
atau dinikmati oleh anak-anak sebagaimana oleh orang dewasa. Keindahan
alam bermanfaat karena dapat mendatangkan kesehatan kepada jiwa. Begitu
pula halnya lukisan yang menyajikan gambar pemandangan alam. Tetapi
terdapat keindahan sensual atau inderawi yang tidak membawa banyak
manfaat seperti gambar cabul atau erotik, bahkan lebih banyak mudaratnya
walaupun dapat dinikmati baik oleh anak muda maupun orang dewasa.
Berbeda dengan keindahan yang hanya
dapat dicerap oleh sarana kejiwaan yang lebih tinggi dari pancaindera,
yaitu imaginasi dan perasaan. Misalnya musik yang membawa pada kenangan
tertentu di masa lalu, atau lukisan yang tidak menyajikan gambaran
seperti lukisan naturalistis. Karya seni dalam lingkup ini penerimaannya
sepenuhnya tergantung pada tingkat kepekaan rasa dan kesanggupan
imaginasi seseorang.
Yang dimaksud dengan keindahan rasional
ialah keindahan yang tidak sepenuhnya dapat dicerap oleh pancaindera,
perasaan dan imaginasi, tetapi memerlukan perenungan dan pemikiran akal.
Misalnya sebuah novel atau puisi yang mengandung gagasan dan pemikiran
tertentu.
Keindahan euhaniyah dan `irfani
(mistikal) dapat dilihat dalam pribadi Nabi. Nabi merupakan pribadi yang
indah bukan semata-mata disebabkan kesempurnaan jasmani dan
pengetahuannya tentang agama dan dunia, tetapi terutama karena akhlaqnya
yang mulia dan tingkat makrifatnya yang tinggi.
Pengaruh cara memandang keindahan dan
peringkat-peringkatnya nampak dalam penghargaan Islam terhadap berbagai
bentuk karya seni. Seni kaligrafi, ragam hias tetumbuhan dan lukisan
geometris menempati tempat istimewa, sedangkan lukisan realisme dan
naturalisme tidak begitu diistemewakan. Seni kaligrafi dan lukisan
geometri sepenuhnya merupakan hasil abstraksi dan imaginasi manusia.
Bentuk-bentuk yang disajikan di dalamnya tidak ditiru dari alam, namun
benar-benar dicipta dan direkayasa oleh manusia menurut kemampuan
akalnya. Seni dekoratif tetumbuhan juga demikian. Walaupun bertitik
tolak dari apa yang terdapat dalam alam, namun hasilnya lebih
merupakan buah dari kerja pikiran dan imaginasi manusia.
Lebih daripada itu bentuk-bentuk seni
di atas bersumber dari al-Qur`an. Seni kaligrafi muncul untuk menuliskan
teks-teks suci secara tepat dan indah agar menarik perhatian dan dapat
membawa penikmat dekat kepada sumber otentik dari teks suci. Kecintaan
orang Islam pada kitab suci al-Qur`an mendorong pesatnya perkembangan
seni kaligrafi dan menjadikan kaligrafi sebagai simbol utama seni Islam
dan perwujudan paling istimewa daripada estetika Islam.
Seni dekoratif dapat dirujuk kepada
gambaran al-Qur`an tentang surga yang merupakan tempat untuk
orang-orang yang taqwa, banyak beramal saleh dan mengingat Tuhan. Citra
sorga juga dikaitkan dengan keadaan jiwa mutmainah seseorang yang telah
mencapai tahapan keimanan dan ketaqawaan yang tinggi. Surga digambarkan
sebagai taman dipenuhi pepoponan rindang, lebat buahnya. Di dalamnya
mengalir sungai yang airnya jernih. Corak dan struktur seni petamanan
Islam diilhami oleh lukisan al-Qur`an tentang surga. Seni hias
tetumbuhan (arabesque) dalam tradisi Islam juga berkaitan dengan
gambaran al-Qur`an tentang surga, sekaligus sebagai pembebasan dari
keterkungkungan seniman terhadap wujud formal dunia material.
V
Sikarang kita bahas hubungan estetika dan seni dengan gambar dunia (weltanschauung atau worldview). Secara sepintas telah digambarkan kecenderungan estetika dalam Islam. Yaitu kuatnya sikap penolakan meniru obyek luar secara realistis dan naturalistis. Sikap ini ada kaitannya dengan sikap Islam yang anti-berhala atau ikonoklastis. Pada saat yang sama sikap tersebut timbul dari dorongan untuk memberikan perhatian pada kreativitas pikiran dan imaginasi, dan keengganan untuk semata-mata melayani hasil pengamatan indera.
Sikarang kita bahas hubungan estetika dan seni dengan gambar dunia (weltanschauung atau worldview). Secara sepintas telah digambarkan kecenderungan estetika dalam Islam. Yaitu kuatnya sikap penolakan meniru obyek luar secara realistis dan naturalistis. Sikap ini ada kaitannya dengan sikap Islam yang anti-berhala atau ikonoklastis. Pada saat yang sama sikap tersebut timbul dari dorongan untuk memberikan perhatian pada kreativitas pikiran dan imaginasi, dan keengganan untuk semata-mata melayani hasil pengamatan indera.
Tentang sikap ikonoklastis atau
anti-berhala, Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) menyatakan dalam sebuah
sajaknya, lebih kurang terjemahannya sebagai berikut:
Aku seorang pelukis, pencipta gambar
Setiap saat kulukis rupa yang elok dan indah.
Namun apabila Kau datang
Kulebur semua itu tanpa ada yang tinggal sedikit pun.
Kupanggil ratusan bayang-bayang
Kuhembuskan roh ke dalam jisim mereka.
Apabila bayang-bayang-Mu kusaksikan
Kulempar mereka semua ke dalam api yang menyala.
(dari Diwan-i- Shamsi Tabriz)
Manusia memang cenderung menyukai bentuk-bentuk luar dan memberhalakan keindahan zahir atau lahiriyah. Tetapi apabila seseoang telah dianugerahi cahaya Tauhid maka segala bentuk kesyirikan yang bertunas dalam dirinya akan dapat dibersihkan. Penciptaan karya seni dalam Islam dengan bentuk-bentuknya yang anti-ikonografis dan wataknya sebagai manifestasi zikir serta puji-pujian kepada Yang Satu, adalah ungkapan penyucian diri dari segala bentuk berhala alam bendawi. Sekaligus untuk menyatakan bahwa martabat manusia tak ditentukan oleh kemahirannya meniru bentuk-bentuk lahir kehidupan, melainkan oleh kreativitas imaginasi dan akal pikirannya.
Setiap saat kulukis rupa yang elok dan indah.
Namun apabila Kau datang
Kulebur semua itu tanpa ada yang tinggal sedikit pun.
Kupanggil ratusan bayang-bayang
Kuhembuskan roh ke dalam jisim mereka.
Apabila bayang-bayang-Mu kusaksikan
Kulempar mereka semua ke dalam api yang menyala.
(dari Diwan-i- Shamsi Tabriz)
Manusia memang cenderung menyukai bentuk-bentuk luar dan memberhalakan keindahan zahir atau lahiriyah. Tetapi apabila seseoang telah dianugerahi cahaya Tauhid maka segala bentuk kesyirikan yang bertunas dalam dirinya akan dapat dibersihkan. Penciptaan karya seni dalam Islam dengan bentuk-bentuknya yang anti-ikonografis dan wataknya sebagai manifestasi zikir serta puji-pujian kepada Yang Satu, adalah ungkapan penyucian diri dari segala bentuk berhala alam bendawi. Sekaligus untuk menyatakan bahwa martabat manusia tak ditentukan oleh kemahirannya meniru bentuk-bentuk lahir kehidupan, melainkan oleh kreativitas imaginasi dan akal pikirannya.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa
hal menyangkut Gambaran Dunia (weltanschauung) yang disajikan al-Qur`an
dan pengaruhnya terhadap estetika,
khususnya karya sastra dan seni rupa.
Pertama, dalam al-Qur`an dinyatakan
bahwa alam semesta, juga pribadi manusia di mana ayat-ayat-Nya
terbentang, diumpamakan sebagai Kitab agung atau sebuah karya sastra
yang ditulis oleh Sang Pencipta dengan kalam-Nya di atas lembaran
terpelihara (lawhu`l-mahfudz). Gambaran seperti itu jelas mendorong
perkembangan sastra, penulisan kitab, seni kaligrafi dan perbukuan.
Kedua, telah dinyatakan bahwa menurut
al-Qur`an Tuhan meletakkan ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang
menakjubkan di alam semesta dan dalam diri manusia. Ayat-ayat Tuhan
dalam alam semesta berupa berbagai fenomena alam, peristiwa-peristiwa
sosial dan sejarah. Dalam diri manusia ialah akal pikiran, imaginasi dan
fakultas kerohanian lain.
Berdasarkan pandangan di atas pula paara Sufi memberikan beberapa pembagian peranan atau fungsi karya seni.
(1) Fungsi seni ialah untuk tawajjud, yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang damai (mutmainah) dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi. Ini dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali;
(2) Fungsi seni yang lain, sebagaimana dikemukakan Ruzbihan
al-Baqli
(abad ke-13 M) ialah tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda
melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri. Misalnya
suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata.
(3) Fungsi seni yang lain lagi ialah tadzkiya al-nafs, yaitu penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk melalui bentuk-bentuk itu sendiri.Ini dinyatakan antara lain oleh Jalaluddin Rumi, sebagaimana terekam dalam sajaknya yang telah dikutip;
(4) Fungsi seni yang lain pula ialah untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita bersikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan sosial, alam tempat kita hidup dan diri kita sendiri. Banyak dikemukakan para filosof dan sastrawan seperti Ibn al-Muqaffa’, al-Jahiz, Ibn Sina, Abu `Ala al-Ma`arri, Abu al-`Atahiyah dan Mulla Sa’adi;
(5) Seni juga berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan. Para ilmuwan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini;
(6) Karya seni juga dicipta untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yang Satu. VII
Saya ingin memberi catatan di sini bahwa dalam sejarah seni rupa Islam terdapat perwujudan estetika Islam yang sering dilupakan, yaitu lukisan miniatur. Berbeda dengan seni kaligrafi, arabesk dan lukisan geometri, lukisan miniatur menghadirkan gambar figuratif.
Lukisan miniatur lahir dari keperluan
memberi ilustrasi pada buku-buku ilmu pengetahuan, sastra dan sejarah.
Sebenarnya tradisi ini telah tumbuh sejak zaman Bani Umayyah dan
Abbasiyah pada abad ke-8 dan 9 M. Namun karena banyak manuskrip yang
memuat lukisan-lukisan itu hilang, maka bukti-bukti dari perkembangan
seni lukis Islam dari abad-abad itu hanya sedikit yang dijumpai.
Sebab-sebab hilangnya bukti itu antara
lain ialah terbakarnya Perpustakaan Bani Fathimiyah di Kairo pada abad
ke-11 M yang memusnahkan seluruh bangunan dan isinya, padahal dalam
perpustakaan ini disimpan ribuan manuskrip dari abad ke-8, 9 dan 10 M
yang memuat banyak ilustrasi.
Kebanyakan bukti tentang perkembangan
seni lukis Islam itu berasal dari manuskrip abad ke-12 dan 13 M. Di situ
dapat kita lihat beberapa ciri awal seni lukis Islam, wawasan
estetikanya dan kecenderungannya, yang sudah pasti sangat berpengaruh
bagi perkembangan selanjutnya. Saya ingin memberi contoh lukisan yang
terdapat dalam beberapa manuskrip yang memuat teks-teks ilmu pengetahuan
dan sastra seperti Kitab al-Tsabita (Kitab Tentang Astronomi), Kitab
al- Diriyaq (terjemahan buku Galenus tentang kedokteran), Kitab
al-Baytara karangan Ibn al-Ahnaf ditulis pada tahun 1210-1215 M;
Khalilah wa Dimnah karangan Ibn al-Muqaffa`, cerita berbingkai, salinan
dibuat pada tahun 1215 M; Kitab al-Aghani, kitab tentang musik dan
nyanyian karangan Abu al-Faraj al-Isfahani, salinan dibuat pada akhir
abad ke-12 M.
Lukisan-lukisan dalam
manuskrip-manuskrip tersebut menarik karena gambar figur pada umumnya
ditampilkan statik, tidak ada gerak dan dua dimensi. Pelukis Muslim
berusaha menekan ketegangan antara estetika Yunani dan estetika Islam.
Estetika Yunani didasarkan pada prinsip “Ars imitatur naturam (seni
meniru alam), sedangkan estetika Islam menolak naturalisme. Menarik juga
membandingkan lukisan dalam Kitab al-Tsabita yang dipengaruhi lukisan
Cina, dengan lukisan Cina dalam kitab astronomi Cina abad ke-10 karangan
Chang Sheng-Yu. Lukisan dalam buku karangan Chang Sheng-Yu sepenuhnya
merupakan tiruan alam, sedangkan dalam Kitab al-Tsabita tidak ada unsur
peniruan alam.
Secara garis besar ciri-ciri lukisan
karya seniman Muslim itu ialah: (1) Figur statik, tidak ada gerak; (2)
Namun ada watak individual pada setiap figur yang digambar. Dengan
demikian yang ditekankan di sini bukan penampakan zahir dari figur
tetapi sifat-sifatnya; (3) Terdapat banyak motif seni dekoratif atau
arabesk, yang ditambahkan untuk menggambarkan bahwa manusia hanya dapat
hidup di dalam alam atau lingkungan alam; (4) Warna dibuat bukan untuk
meniru warna alam, tetapi untuk menciptakan keselarasan dalam ruang
tertentu; (5) Ruang dibuat vertikal dari atas ke bawah dengan garis
spiral. Pada akhirnya yang menentukan kualitas lukisan itu ialah tatanan
geometrisnya.
Agar lebih jelas saya kemukakan saja kecenderungan dan watak seni lukis Islam melalui gambaran sebagai berikut:
Pertama. Orang Islam sangat mencintai al-Qur`an. Hal ini sebagaimana
telah dikemukakan sangat mempengaruhi tumbuhnya seni kaligrafi.
Keindahan dan pesona bahasa al-Qur`an membuat seniman Muslim bergairah
menghadirkankata-kata suci dalam bentuk tulisan indah (khat). Kecintaan
terhadap seni khat ini mempengaruhi esensi seni lukis Islam, yaitu
bagaimana seorang pelukis membuat garis yang kuat, warna yang mempesona
dan mendatangkan kemabokan spiritual, membuat coretan yang tegas, pasti
dan sekligus ekspresif dan bermakna. Maka garis dan coretan menjadi hal
yang penting dalam seni lukis Islam. Pandangan ini lebih jauh
mempengaruhi kecintaan pada lukisan geometri. Dalam lukisan geometri
benar-benar diterapkan hakekat seni lukis, yang tidak lain ialah garis
dan inti garis ialah titik.
Kedua. Islam mempunyai komitmen besar
terhadap sejarah. Bagi pelukis Muslim alam hanya menarik sebagai latar
belakang kehidupan manusia. Sebab tanpa manusia alam tidak ada artinya
apa-apa. Berlainan dengan sejarah. Sejarah benar-benar melibatkan
peranan manusia. Maka itu peperangan, naik turunnya suatu dinasti atau
rezim pemerintahan, penghancuran dan pembangunan kota, pelayaran ke
tempat jauh, dan peristiwa-peristiwa bersejarah lain — mendapat
perhatian besar pelukis dan sastrawan Muslim. Tidak heran apabila drama
dan peristiwa kemanusiaan menempati kedudukan istimewa sebagai obyek
estetik dalam tradisi Islam.
Cakrawala, gunung, lembah, sungai,
lautan dan lain-lain yang banyak dijumpai dalam lukisan Cina, tidak
banyak dijumpai dalam lukisan Islam. Sebagai gantinya dalam lukisan
Islam ialah seringnya taman ditampilkan, sebab taman melibatkan manusia
dalam kehadirannya dan taman merupakan replika surga, yang melambangkan
jiwa yang damai. Namun demikian gambar alam, sebagai taman atau latar
belakang suatu peristiwa kemanusiaan, dalam lukisan Islam lebih
mengesankan dibanding gambar alam dalam lukisan Belanda atau Perancis
modern yang awal.
Ketiga. Pelukis Islam tidak
memperhatikan perspektif, kecuali lukisan pada zaman pemerintahan
Jahangir akhir abad ke-17 di India Mughal yang dipengaruhi lukisan
Belanda dan Belgia. Karena itu jarang ditemui lukisan tiga dimensi dalam
Islam. Alasannya: jauh dan dekat sama saja. Orang yang berada di tempat
lebih jauh kadang digambar lebih besar dibanding orang yang berada
lebih dekat. Bagi seniman Muslim: Waktu dan keabadian merupakan dua
faset penting dalam kehidupan manusia.
Tidak ada dikotomi antara waktu (beserta perubahannya) dan keabadian. Pelukis Muslim tidak perlu mencipta waktu khayali dalam usahanya memuaskan kerinduan pada keabadian. Yang penting bagaimana mencipta keabadian di luar waktu. Tak heran pelukis Muslim selalu berusaha menggabungkan semua dimensi ruang dan waktu dalam kesatuan tunggal. Begitu pula penceritaan yang terdapat dalam al-Qur`an.
Tidak ada dikotomi antara waktu (beserta perubahannya) dan keabadian. Pelukis Muslim tidak perlu mencipta waktu khayali dalam usahanya memuaskan kerinduan pada keabadian. Yang penting bagaimana mencipta keabadian di luar waktu. Tak heran pelukis Muslim selalu berusaha menggabungkan semua dimensi ruang dan waktu dalam kesatuan tunggal. Begitu pula penceritaan yang terdapat dalam al-Qur`an.
Keempat. Pelukis Muslim menolak
kegelapan. Lukisan mereka penuh limpahan cahaya dan warna cerah. Tidak
ada bayangan gelap dalam lukisan. Gelap bukan esensi waktu dan ruang,
melainkan sesuatu yang ditambahkan untuk menegaskan keberadaan cahaya
terang. Lagi pula kegelapan ialah lambang keputusasaan sedangkan agama
Islam menganjurkan pemeluknya menolak keputusasaan. Kegelapan juga
lambang kedhaliman, diskriminasi dan egosentrisme.
Kelima. Lukisan Islam ialah ekpresi
dari gagasan dan perasaan tunggal: Cinta. Semua detail dari obyek
diserap dan dibuat untuk menghasilkan nuansa perasaan halus. Pohon dan
bunga digambar namun tidak sampai memenuhi seluruh latar, sebab ia hadir
hanya untuk memberi tambahan bagi melodi dan irama kehidupan yang terus
mengalir.Karena merupakan ekspresi dari semangat dan perasaan tunggal
yaitu cinta(`isyq) maka lukisan Islam mempunyai kecenderungan sufistik.
Maksudnya setiap obyek dalam alam dihadirkan sebagai manifestasi dari
ilmu dan cinta Tuhan yang tidak terhingga.
Keenam. Lukisan Islam merupakan
ilustrasi terhadap teks atau wacana. Baik teks atau wacana sastra, ilmu
pengetahuan dan sejarah. Fungsi seperti itu sama dengan fungsi alam yang
merupakan ilustrasi terhadap firman Tuhan.
Ketujuh. Setiap waktu seniman Muslim
mendengar perintah “Kun fayakun!” dalam berbagai perubahan yang terjadi
di sekitarnya. Kata-kata “Kun fayakun!” ini setiap kali menerjemahkan
diri dalam peristiwa alam dan sejarah. Karena itu mesti diupayakan
menjadikan gambaran peristiwa kehidupan dan sejarah sebagai tangga naik
untuk membaca hikmah dan pesan moral yang dikandungnya.
Kedelapan. Dunia ini ialah
ayat-ayat-Nya atau logos dalam jasad zahir dan dalam gerakan
transubstansial (al-harakah al-jawhariyah) yaitu perjalanan menuju atau
melalui substansi kehidupan. Kesadaran seorang Muslim berakar dalam
keinsyafan bahwa antara kata-kata dan fakta atau kenyataan terdapat
hubungan timbal balik dan saling memberi makna. Maka dalam lukisan Islam
sering dihadirkan rangkaian kaligrafi berisi ayat al-Qur`an, Hadis,
pepatah, puisi dan lain sebagainya.
Demikian uraian ringkas tentang estetika Islam dan manifestasinya dalam ungkapan artistik seni.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W. M. (2000) Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Boyle, A. ed. (1988) The Cambridge History of Iran, Vol. 5. Cambridge: Cambridge
University Press.
Burkhard, Titus (1991). “The Spirituality of Islamic Art”. Dalam S. H. Nasr (ed.)
Islami Spirituality. London: Routledge & Kegan Paul (506-527).
Ferrier (1989). The Arts of Persia. New Haven and London: Yale University Press.
Al-Ghazali, Imam (1984). Kimia Kebahagiaan. Terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan.
Hossein Nasr, Seyyed (1987). Islamic Art and Spirituality. Cambridge: Golgonoza
Press.
Reza Araste (1974). Rumi, The Persian, The Sufi. London: Routledge and Kegan
Paul.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W. M. (2000) Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Boyle, A. ed. (1988) The Cambridge History of Iran, Vol. 5. Cambridge: Cambridge
University Press.
Burkhard, Titus (1991). “The Spirituality of Islamic Art”. Dalam S. H. Nasr (ed.)
Islami Spirituality. London: Routledge & Kegan Paul (506-527).
Ferrier (1989). The Arts of Persia. New Haven and London: Yale University Press.
Al-Ghazali, Imam (1984). Kimia Kebahagiaan. Terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan.
Hossein Nasr, Seyyed (1987). Islamic Art and Spirituality. Cambridge: Golgonoza
Press.
Reza Araste (1974). Rumi, The Persian, The Sufi. London: Routledge and Kegan
Paul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar anda?