Menjaga Semangat Ramadhan
Majelissirah.com
- Jika kita memanaskan air hingga mendidih (100 derajat celcius), perlu
waktu lama agar suhunya turun seperti sedia kala. Prosesnya berjalan
lambat, suhu akan turun secara gradual jika tutup pancinya dibuka. Jika
tutupnya tidak dibuka, panasnya bisa berlangsung lebih lama. Terlebih,
jika langsung disimpan didalam termos yang tertutup rapat.
Ramadhan sudah berlalu. Kita sudah berupaya mengisinya dengan berbagai amaliah ibadah, baik yang fardhu maupun sunnah. Terlebih, pada sepuluh hari yang terakhir saat kita beri‘tikaf. Ibaratnya, kita memanaskan kondisi ruhiah dengan berbagai amalan ekstra hingga mendidih, bersuhu 100 derajat. Anehnya, dalam waktu singkat banyak amaliah yang hilang tak berbekas. Seolah mereka langsung membeku setelah baru saja mendidih. Padahal kata pak kyai, syawal itu artinya peningkatan bukan penurunan.
Peringatan Nabi
Kita tentu ingat dengan pesan baginda nabi “Janganlah engkau seperti si fulan, dulu rajin shalat malam tapi akhirnya dia meninggalkannya”. Tentu konteksnya bisa diperluas “Tadinya dia rajin tadarus lalu menyimpan mushafnya, tadinya sering berjama’ah lalu melipat sarungnya, tadinya gemar shadaqah lalu menyembunyikan dompetnya” dan seterusnya.
Dalam konteks keduniaan, fenomena itu jamak dialami para caleg pasca pemilu. Mereka yang tadinya rajin bersilaturahim dan gemar membantu kemudian mengurung diri didalam rumahnya. Terutama jika hasilnya tak sesuai dengan prediksi. Dalam konteks akherat, situasi ini umum dialami oleh kaum muslimin. Tak jauh beda, hanya lain konteks. Karena itu, janganlah kita senang menghina, mengecam dan memperolok para caleg yang mengalami goncangan psikologis pasca pemilu. Karena penurunan kondisi ruhiah kita secara drastis dibulan syawal juga sudah menjelaskan bagaimana kualitas diri kita sesungguhnya. Sekali lagi, hanya masalah beda konteks saja.
Untuk sejenak, bisa jadi kita memang mengalami penurunan drastis dalam amaliah ibadah pasca ramadhan. Karena tingginya ritme aktivitas lebaran seperti perjalanan mudik, panitia zakat fitrah dan takbir keliling, agenda silaturahim keluarga, kondangan kesana kemari dll. Namun bagi seorang muslim, tidak butuh waktu lama untuk segera tersadar dari “efek kejut” diawal bulan syawal. Mereka bersemangat untuk membawa amaliah bulan ramadhan ke bulan syawal dan bulan lain, meskipun kadar suhu/temperaturnya berbeda. Mengapa mereka bersemangat melakukannya?
Pertama, Isyarat Diterimanya Ibadah
Kita sama sekali tidak tahu apakah ibadah kita ini diterima atau tidak oleh Allah. Mungkin diterima dengan catatan, mungkin diterima tapi nilanya hanya setengah, mungkin hanya berstatus menggugurkan kewajiban dll. Faktanya, memang banyak dalil yang menunjukkan bahwa tidak semua amal ibadah itu diterima Allah. Dari mulai ibadah jum’atan yang sia - sia hingga ibadah puasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus. Semua hakikat ini baru tersingkap di yaumil hisab. Namun saat itu, sudah tidak ada waktu untuk memperbaiki, merevisi dan melengkapi kitab
Ramadhan sudah berlalu. Kita sudah berupaya mengisinya dengan berbagai amaliah ibadah, baik yang fardhu maupun sunnah. Terlebih, pada sepuluh hari yang terakhir saat kita beri‘tikaf. Ibaratnya, kita memanaskan kondisi ruhiah dengan berbagai amalan ekstra hingga mendidih, bersuhu 100 derajat. Anehnya, dalam waktu singkat banyak amaliah yang hilang tak berbekas. Seolah mereka langsung membeku setelah baru saja mendidih. Padahal kata pak kyai, syawal itu artinya peningkatan bukan penurunan.
Peringatan Nabi
Kita tentu ingat dengan pesan baginda nabi “Janganlah engkau seperti si fulan, dulu rajin shalat malam tapi akhirnya dia meninggalkannya”. Tentu konteksnya bisa diperluas “Tadinya dia rajin tadarus lalu menyimpan mushafnya, tadinya sering berjama’ah lalu melipat sarungnya, tadinya gemar shadaqah lalu menyembunyikan dompetnya” dan seterusnya.
Dalam konteks keduniaan, fenomena itu jamak dialami para caleg pasca pemilu. Mereka yang tadinya rajin bersilaturahim dan gemar membantu kemudian mengurung diri didalam rumahnya. Terutama jika hasilnya tak sesuai dengan prediksi. Dalam konteks akherat, situasi ini umum dialami oleh kaum muslimin. Tak jauh beda, hanya lain konteks. Karena itu, janganlah kita senang menghina, mengecam dan memperolok para caleg yang mengalami goncangan psikologis pasca pemilu. Karena penurunan kondisi ruhiah kita secara drastis dibulan syawal juga sudah menjelaskan bagaimana kualitas diri kita sesungguhnya. Sekali lagi, hanya masalah beda konteks saja.
Untuk sejenak, bisa jadi kita memang mengalami penurunan drastis dalam amaliah ibadah pasca ramadhan. Karena tingginya ritme aktivitas lebaran seperti perjalanan mudik, panitia zakat fitrah dan takbir keliling, agenda silaturahim keluarga, kondangan kesana kemari dll. Namun bagi seorang muslim, tidak butuh waktu lama untuk segera tersadar dari “efek kejut” diawal bulan syawal. Mereka bersemangat untuk membawa amaliah bulan ramadhan ke bulan syawal dan bulan lain, meskipun kadar suhu/temperaturnya berbeda. Mengapa mereka bersemangat melakukannya?
Pertama, Isyarat Diterimanya Ibadah
Kita sama sekali tidak tahu apakah ibadah kita ini diterima atau tidak oleh Allah. Mungkin diterima dengan catatan, mungkin diterima tapi nilanya hanya setengah, mungkin hanya berstatus menggugurkan kewajiban dll. Faktanya, memang banyak dalil yang menunjukkan bahwa tidak semua amal ibadah itu diterima Allah. Dari mulai ibadah jum’atan yang sia - sia hingga ibadah puasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus. Semua hakikat ini baru tersingkap di yaumil hisab. Namun saat itu, sudah tidak ada waktu untuk memperbaiki, merevisi dan melengkapi kitab
Hanya saja, ada beberapa pertanda yang bisa kita rasakan. Pada kasus ibadah haji, diantara tanda haji mabrur secara khusus adalah “ath’imut tha‘aam wa thiibul kalaam”. Sedang pada ibadah secara umum, tandanya adalah al hasanah ba’dal hasanah. Jadi, jika kita bisa melaksanakan amalan yang sama pasca ramadhan, maka ada harapan besar bahwa amaliah ramadhan yang kita lakukan kemarin itu diterima Allah. Namun jika kita tidak bisa lagi bertadarus al qur’an, berpuasa sunnah, qiyamullail dll maka kita harus khawatir, jangan - jangan ibadah kita dibulan ramadhan kemarin ditolak atau hanya berstatus mengugurkan kewajiban.
Kedua, Isyarat Dicintai Allah
Ada banyak isyarat Allah cinta pada hamba-Nya. Diantaranya saat seorang hamba mendekat dengan wasilah amal shaleh. Sebagaimana firman-Nya “Ya ayyuhalladziina aamanut taqullaah, wabtaghuu ilaihil wasiilah”. Dan amal shaleh yang dicintai Allah adalah amal yang dilaksanakan secara kontinyu, berkesinambungan dan tidak terputus meskipun sedikit, apalagi banyak. Sebagaimana petunjuk dari baginda nabi “Ahabbul ‘amali ilallaah, adwaamuhu wa inqall”.
Istiqamah dalam beramal itu perkara berat. Bahkan, itulah perkara terberat yang dirasakan oleh nabi hingga rambutnya cepat beruban. Karena perintah istiqamah dalam surat hud dan surat - surat lain semisalnya. Dan istiqamah juga menjadi salah satu faktor penting yang akan menghantarkan pada husnul khatimah, selain taubat. Karena apabila Allah mencintai seorang hamba, mereka akan diberi taufik untuk beramal shaleh sebelum wafatnya. “Yuwaffiquhu li ’amalin shaalih, qablal maut”.
Ketiga, Isyarat Keberhasilan Madrasah Ramadhan
Memulai sesuatu itu rasanya berat. Namun jika sudah terbiasa dilakukan dalam jangka waktu lama, meninggalkannya justru menjadi berat. Hal ini berlaku umum, baik pada perkara dunia maupun perkara agama. Bangun pagi awalnya berat, tapi jika sudah terbiasa maka menjadi ringan. Alam bawah sadar kita akan memprogramnya sebagai aktivitas rutin harian. Mendatangi panggilan adzan bisa jadi berat, namun jika sudah terbiasa maka akan terasa ringan. Justru kita merasa berat jika tidak bergegas ke masjid / musholla.
Keberhasilan sebuah program pelatihan akan terlihat pasca pelatihan. Jika kondisinya sama saja antara sebelum dengan sesudah pelatihan, berarti programnya kurang berhasil dalam membentuk proses pembiasaan tingkah laku dan karakter. Namun jika ada perubahan entah berapa derajat celcius, maka sedikit banyak program tersebut berhasil. Tinggal dianalisa lebih mendalam tentang faktor kritisnya (KSF & KPI). Dan ada kabar gembira dari baginda nabi untuk mereka yang terbiasa beramal shaleh, yakni “Idza araadal ‘abdu au safaar, kutibalahu maakaana ya’malu shahiihan, muqiiman”.
Khatimah
Dalam konteks ibadah haji, kita sangat bersemangat untuk mencapai derajat haji mabrur serta mempertahankan kemabrurannya pasca ibadah haji. Setahu kami, memang tidak ada istilah khusus untuk amaliah ramadhan sebagaimana halnya istilah “mabrur” pada ibadah haji. Jikapun ada, mungkin “itqum minan naar” layak menjadi predikat khusus amaliah ramadhan. Setidaknya jika kita tarik simpulan umum dari fadhilah amaliah dan karakter khusus doa - doa yang dipanjatkan selama ramadhan.
Apapun itu, mari kita bersemangat untuk meneruskan amaliah ramadhan pasca ramadhan. Kita berhusnudzan semoga semua itu menjadi isyarat atas berbagai macam kebaikan yang dicurahkan Allah kepada kita. Bukankah baginda nabi berwasiat “Husnudzdzan billaah, min husnil ‘ibaadah”?. Wallahu a‘lam.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar anda?