JALAN MERAIH TAQWA
Oleh : Denis Prasetio, 02/02/19
Taqwa lahir sebagai konsekuensi logis dari sebuah keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dengan muraqabatullah; merasa takut dengan adzab dan mereka-Nya, dan selalu berharap atas limpahan karunia-Nya.
Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama:
Takwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya.
Dalam suatu riwayah yang shahih disebutkan bahwa Umar bin Khathab berkata “Taqwa adalah kepekatan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus selalu waspada dan hati-hati jangan sampai duri jalan kehidupan yang selalu ditaburi syahwat dan godaan, kerasukan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti“.
Di sini kita membahas faktor yang terpenting yang bisa menumbuhkan kesuburan taqwa:
Pertama,
Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Kalimat ini di ambil dari firman Allah Yang Maha Tinggi:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (An-Nahl.91)
Mu’ahadah ialah mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah Azza Wa Jalla di alam ruh. Sebelum kita menjadi janin yang di letakkan di dalam rahim ibu kita dan di tiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Al-Araf: 172)
Hendak seorang mu’min berkholwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk mengintropeksi diri seraya mengatakan kepada dirinya: “wahai jiwaku, sesungguhnya kamu tidak berjanji kepada Rabbmu setiap hari di saat berdiri membaca, hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon bantuan”.
Kedua,
Muraqabah (Merasa Diawasi Allah)
Landasan muraqabah dapat kita temukan dalam firman Allah:
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud”. (Asy-Syuara: 218-219)
Muraqabah sebagaimana disyariatkan, yaitu: “Merasa keagungan Allah di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaannya di kala sepi ataupun ramai”.
Ada beberapa macam muraqabah:
- Muraqabah kepada Allah dalam melaksanakan ketaatan adalah ikhlas kepada-Nya.
- Muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan tobat, penyesalan dan meninggalkannya secara total.
- Muraqabah dalam hal yang mubah adalah dengan menjaga adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala Rahmat-Nya.
- Muraqabah dalam musibah adalah ridho kepada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
Ketiga,
Muhasabah (Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah firman Allah dengan surat Al-Hasyr:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hasyr: 18).
Makna muhasabah sebagaimana di isyaratkan oleh ayat ini yaitu: “Hendaklah seorang muslim menghisab dirinya ketika melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapat ridha Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sigat riya’?.
Hendaknya seorang mukmin memperhatikan modal, keuntungan dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau menyusut. Yang dimaksud dengan modal adalah islam secara keseluruhan.
Jika saudara telah menghisab diri dalam urusan yang besar maupun kecil, dan berusaha melakukan khalwat di malam hari bersama Allah untuk melihat apa yang akan dipersembahkan di hari kiamat kelak.
Keempat,
Mu’aqabah (Pemberian Sanksi)
Landasan mu’aqabah ada dalam firman Allah:
“Dam dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”.(Al-Baqarah: 178)
Makna dalam syariah ialah, pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfak dan sebagainya.
Jika seseorang sudah bisa menjatuhkan sanksi kepada dirinya di saat melakukan kesalahan, maka dia telah melangkahkan dirinya menuju taqwa dan telah menapaki ketinggian rohani dengan pasti dia akan sampai ke derajat orang-orang yang bertakwa.
Kelima,
Mujahadah (Optimaliasi)
Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surah Al-‘Ankabut:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah maha benar-benar beserta orang-orang yang baik”. (Al-‘Ankabut: 69)
Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mu’min tersesat dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal amalan sunnah serta ketaatan lainnya tepat pada waktunya, maka dia harus memaksakan dirinya melakukan amal amalan sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius, dan penuh semangat sampai ketaatan itu menjadi kebiasaan bagi dirinya.
Dalam hal ini cukuplah Rasulullah menjadi qudwah yang patut diteladani sebagaimana di riwayatkan oleh Aisyah r.a:
“Rasulullah saw melaksanakan shalat malam hingga kedua tumit kakinya bengkak. Ketiak Aisyah r.a bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal itu? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang sudah lalu dah yang akan datang?” Rasulullah menjawab: ”Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim Aisyah r.a berkata:
“Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang”.
Dalam beberapa hadits, Rasulullah menyuruh dan menyokong pelaksanaan mujahadah dalam amal ibadah. Maka dari itu, hendaknya kita para pewaris Nabi menjadi orang-orang yang pertama bergegas menyambut dan melakukan perintah tersebut
Begitulah beberapa cara untuk menumbuhkan kesuburan takwa adalah hati kita pada diri kita dan ruh setiap mu’min serta menyatukan dengan perasaannya. (denis/dakwatuna.com)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2019/02/02/95440/jalan-meraih-taqwa/#ixzz5nmU9sBkC
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar anda?